Monday, 3 November 2014

Tokoh-tokoh Filsafat Islam dan Pemikirannya

A.    Al-Kindi

1.      Sejarah Hidup

Al-Kindi, nama lengkapnya adalah Abu Yusuf Ya’kub ibnu Ishaq ibnu al-Shabbah ibnu ‘Imron ibnu Muhammad ibnu al-Asy’as ibnu Qais al-Kindi. Kindah merupakan suatu nama  kabilah terkemuka pra-Islam yang merupakan cabang dari Bani Kahlan yang menetap di Yaman. Kabilah ini pulalah yang melahirkan seorang tokoh sastrawan yang terbesar kesusasteraan Arab, sang penyair pangeran Imr Al-Qais, yang gagal untuk memulihkan tahta kerajaan Kindah setelah pembunuhan ayahnya.
Al-Kindi dilahirkan di Kufah sekitar tahun 185 H dari keluarga kaya dan terhormat. Ayahnya, Ishaq ibnu Al- Shabbah, adalah gubernur Kufah pada masa pemerintahan Al-Mahdi dan Ar-Rasyid. Al-kindi sendiri mengalami masa pemerintahan lima khalifah Bani Abbas, yakni Al-Amin, Al-Ma’mun, Al-Mu’tasim, Al- Wasiq, dan Al-Mutawakkil.
Dalam hal pendidikan Al-Kindi pindah dari Kufah ke Basrah, sebuah pusat studi bahasa dan teologi  Islam. Dan ia pernah menetap di Baghdad, ibukota kerajaan Bani Abbas, yang juga sebagai jantung kehidupan intelektual pada masa itu. Ia sangat tekun mempelajari berbagai  disiplin ilmu. Oleh karena itu tidak heran jika ia dapat menguasai ilmu astronomi,ilmu ukur, ilmu alam, astrologi, ilmu pasti, ilmu seni musik meteorologi,, optika, kedokteran, matematika, filsafat, dan politik. Penguasaannya terhadap filsafat dan ilmu lainnya telah menempatkan ia menjadi orang Islam pertama yang berkebangsaan Arab dalam jajaran filosof terkemuka. Karena itu pulalah ia  dinilai pantas menyandang gelar Faiasuf al-‘Arab ( filosof berkebangsaan Arab).

2.      Filsafat atau Pemikirannya

a.      Talfiq

Al-Kindi berusaha memadukan (talfiq) antara agama dan filsafat. Menurutya filsafat adalah pengetahuan yang benar ( knowledge of truth). Al-Qur’an yang membawa argumen-argumen yang lebih meyakinkan dan benar tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran yang dihasilkan oleh filsafat. Karena itu mempelajari filsafat dan berfilsafat tidak dilarang bahkan teologi bagian dari filsafat, sedangkan umat Islam diwajibkan mempelajari teologi. Bertemunya agama dan filsafat dalam kebenaran dan kebaikan sekaligus menjadi tujuan  dari keduanya. Agama disamping wahyu mempergunakan akal, dan filsafat juga mempergunakan akal. Yang benar pertama bagi Al-Kindi ialah Tuhan. Filsafat dengan demikian membahas tentang Tuhan dan agama ini pulalah dasarnya. Filsafat yang paling tinggi ialah filsafat tentang Tuhan.
Dengan demikian, orang yang menolak filsafat maka orang itu menurut Al-Kindi telah mengingkari kebenaran, kendatipun ia menganggap dirinya paling benar. Disamping itu, karena pengetahuan tentang kebenaran termasuk pengetahuan tentang Tuhan, tentang ke-Esaan-Nya, tentang apa yang baik dan berguna, dan juga sebagai alat untuk berpegang teguh kepadanya dan untuk menghindari hal-hal sebaliknya. Kita harus menyambut dengan gembira kebenaran dari manapun datangnya. Sebab, “tidak ada yang lebih berharga bagi para pencari kebenaran daripada kebenaran itu sendiri”. Karena itu tidak tidak wajar merendahkan dan meremehkan orang yang mengatakan dan mengajarkannya. Tidak ada seorang pun akan rendah dengan sebab kebenaran, sebaliknya semua orang akan menjadi mulia karena kebenaran. Jika diibaratkan maka orang yang mengingkari kebenaran tersebut tidak beda dengan orang yang memperdagangkan agama, dan pada akikatnya orang itu tidak lagi beragama.
Pengingkaran terhadap hasil-hasil filsafat karena adanya hal-hal yang bertentangan dengan apa yang menurut mereka telah mutlak digariskan Al-Qur’an. Hal semacam ini menurut Al-Kindi, tidak dapat dijadikan alasan untuk menolak filsafat, karena hal itu dapat dilakukan ta’wil. Namun demikian, tidak bisa dipungkiri perbedaaan antara keduanya, yaitu:
1)      Filsafat termasuk humaniora yang dicapai filosof dengan berpikir, belajar, sedangkan agama adalah ilmu ketuhanan yang menempati tingkat tertinggi karena diperoleh tanpa melalui proses belajar, dan hanya diterima secara langsung oleh para Rasul dalam bentuk wahyu.
2)      Jawaban filsafat menunjukan ketidakpastian ( semu ) dan memerlukan berpikir atau perenungan. Sedangkan agama lewat dalil-dalilnya yang dibawa Al-Qur’an memberi jawaban secara pasti dan menyakinkan dengan mutlak.
3)      Filsafat mempergunakan metode logika, sedangkan agama mendekatinya dengan keimanan.
Walaupun Al-Kindi termasuk pengikut rasionalisme dalam arti umum, tetapi ia tidak mendewa-dewakan akal.

b.      Jiwa

Tentang jiwa, menurut Al-Kindi; tidak tersusun, mempunyai arti penting, sempurna dan mulia. Substansi ruh berasal dari substansi Tuhan. Hubungan ruh dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Selain itu jiwa bersifat spiritual, ilahiah, terpisah dan berbeda dari tubuh. Sedangkan jisim mempunyai sifat hawa nafsu dan pemarah. Antara jiwa dan jisim, kendatipun berbeda tetapi saling berhubungan dan saling memberi bimbingan. Argumen yang diajukan Al-Kindi tentang perlainan ruh dari badan ialah ruh menentang keinginan hawa nafsu dan pemarah. Sudah jelas bahwa yang melarang tidak sama dengan yang dilarang.
Dengan pendapat Al-Kindi tersebut, ia lebih dekat kepada pemikiran Plato ketimbang pendapat Aristoteles. Aristoteles mengatakan bahwa jiwa adalah baharu, karena jiwa adalah bentuk bagi badan. Bentuk tidak bisa tinggal tanpa materi, keduanya membentuk kesatuan isensial, dan kemusnahan badan membawa kepada kemusnahan jiwa. Sedangkan Plato berpendapat bahwa kesatuan antara jiwa dan badan adalah kesatuan accidental dan temporer. Binasanya badan tidak mengakibatkan lenyapnya jiwa. Namun Al-Kindi tidak menyetujui Plato yang mengatakan bahwa jiwa berasal dari alam ide. Al-Kindi berpendapat bahwa jiwa mempunyai tiga daya, yakni: daya bernafsu, daya pemarah, dan daya berpikir. Kendatipun bagi Al-Kindi jiwa adalah qadim, namun keqadimannya berbeda dengan qadimnya Tuhan. Qadimnya jiwa karena diqadimkan oleh Tuhan.

3.      Moral

Menurut Al-Kindi, filsafat harus memperdalam pengetahuan manusia tentang diri dan bahwa sorang filosof wajib menempuh hidup susila. Kebijaksanaan tidak dicari untuk diri sendiri (Aristoteles), melainkan untuk hidup bahagia. Al-Kindi mengecam para ulama yang memperdagangkan agama untuk memperkaya diri dan para filosof yang memperlihatkan jiwa kebinatangan untuk mempertahankan kedudukannya dalam negara. Ia merasa diri korban kelaliman negara seperti Socrates. Dalam kesesakkan jiwa filsafat menghiburnya dan mengarahkannya untuk melatih kekangan, keberanian dan hikmak dalam keseimbangan sebagai keutamaan pribadi, tetapi pula keadilan untuk meningkatkan tata negara. Sebagai filsuf, Al-Kindi prihatin kalau-kalau syari’at kurang menjamin perkembangan kepribadian secara wajar. Karena itu dalam akhlak atau moral dia mengutamakan kaedah Socrates.

B.     Al-Farabi

1.      Biografi

Nama lengkapnya Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalagh. Dikalangan orang-orang latin abad tengah, Al-Farabi lebih dikenal dengan Abu Nashr. Ia lahir di Wasij, Distrik Farab (sekarang kota Atrar), Turkistan pada 257 H. Pada tahun 330 H, ia pindah ke Damaskus dan berkenalan dengan Saif al-Daulah al-Hamdan, sultan dinasti Hamdan di Allepo. Sultan memberinya kedudukan sebagai seorang ulama istana dengan tunjangan yang sangat besar, tetapi Al-Farabi memilih hidup sederhana dan tidak tertarik dengan kemewahan dan kekayaan. Al-Farabi dikenal sebagai filsuf Islam terbesar, memiliki keahlian dalam banyak bidang keilmuan dan memandang filsafat secara utuh dan menyeluruh serta mengupasnya secara sempurna, sehingga filsuf yang datang sesudahnya, seperti Ibnu Sina dan Ibn Rusyd banyak mengambil dan mengupas sistem filsafatnya.

2.      Pemikirannya

a)      Pemaduan Filsafat

Al-Farabi berusaha memadukan beberapa aliran  filsafat yang berkembang sebelumnya terutama pemikiran Plato, Aristoteles, dan Plotinus, juga antara agama dan filsafat. Karena itu ia dikenal filsuf sinkretisme yang mempercayai kesatuan filsafat. Dalam ilmu logika dan fisika, ia dipengaruhi oleh Aristoteles. Dalam masalah akhlak dan politik, ia dipengaruhi oleh Plato. Sedangkan dalam hal matematika, ia dipengaruhi oleh Plotinus.
Untuk mempertemukan dua filsafat yang berbeda seperti dua halnya Plato dan Aristoteles mengenai idea. Aristoteles tidak mengakui bahwa hakikat itu adalah idea, karena apabila hal itu diterima berarti alam realitas ini tidak lebih dari alam khayal atau sebatas pemikiran saja. Sedangkan Plato mengakui idea merupakan satu hal yang berdiri sendiri dan menjadi hakikat segala-galanya. Al-Farabi menggunakan interpretasi batini, yakni dengan menggunakan ta’wil bila menjumpai pertentangan pikiran antara kedanya. Menurut Al-Farabi, sebenarnya Aristoteles mengakui alam rohani yang terdapat diluar alam ini. Jadi kedua filsuf tersebut sama-sama mengakui adanya idea-idea pada zat Tuhan. Kalaupun terdapat perbedaan, maka hal itu tidak lebih dari tiga kemungkinan:
1)      Definisi yang dibuat tentang filsafat tidak benar
2)      Adanya kekeliruan dalam pengetahuan orang-orang yang menduga bahwa antara keduanya terdapat perbedaan dalam dasa-dasar falsafi.
3)      Pengetahuan tentang adanya perbedaan antara keduanya tidak benar, padahal definisi keduanya tidaklah berbeda, yaitu suatu ilmu yang membahas tentang yang ada secara mutlak.
Adapun perbedaan agama dengan filsafat, tidak mesti ada karena keduanya mengacu kepada kebenaran, dan kebenaran itu hanya satu, kendatipun posisi dan cara memperoleh kebenran itu berbeda, satu menawarkan kebenaran dan lainnya mencari kebenaran. Kalaupun terdapat perbedaan kebenaran antara keduanya tidaklah pada hakikatnya, dan untuk menghindari itu digunakab ta’wil filosofis. Dengan demikian, filsafat Yunani tidak bertentangan secara hakikat dengan ajaran Islam, hal ini tidak berarti Al-farabi mengagungkan filsafat dari agama. Ia tetap mengakui bahwa ajaran Islam mutlak kebenarannya.

b)     Jiwa

Adapun  jiwa, Al-Farabi juga dipengaruhi oleh filsafat Plato, Aristoteles dan Plotinus. Jiwa bersifat ruhani, bukan materi, terwujud setelah adanya badan dan tidak berpindah-pindah dari suatu badan ke badan lain. Kesatuan antara jiwa dan jasad merupakan kesatuan secara accident, artinya antara keduanya mempunyai substansi yang berbeda dan binasanya jasad tidak membawa binasanya jiwa. Jiwa manusia disebut al-nafs al-nathiqah, yang berasal dari alam ilahi, sedangkan jasad berasal dari alam khalq, berbentuk, beruapa, berkadar, dan bergerak. Jiwa diciptakan tatkala jasad siap menerimanya.
Mengenai keabadian jiwa, Al-Farabi membedakan antara jiwa kholidah dan jiwa fana. Jiwa khalidah yaitu jiwa yang mengetahui kebaikan dan berbuat baik, serta dapat melepaskan diri dari ikatan jasmani. Jiwa ini tidak hancur dengan hancurnya badan.

c)      Politik

Pemikiran Al-Farabi lainnya yang sangat penting adalah tentang politik yang dia tuangkan dalam karyanya, al-Siyasah al- Madiniyyah (Pemerintahan Politik) dan ara’ al-Madinah al-Fadhilah (Pendapat-pendapat tentang Negara Utama) banyak dipengaruhi oleh konsep Plato yang menyamakan negara dengan tubuh manusia. Ada kepala, tangan, kaki dan anggota tubuh lainnya yang masing-masing mempunyai fungsi tertentu. Yang paling penting dalam tubuh manusia adalah kepala, karena kepalalah (otak) segala perbuatan manusia dikendalikan, sedangkan untuk mengendalikan  kerja otak dilakukan oleh hati. Demikian juga dalam negara. Menurut Al-Farabi yang amat penting dalam negara adalah pimpinannya atau penguasanya, bersama-sama dengan bawahannya sebagai mana halnya jantung dan organ-organ tubuh yang lebih rendah secara berturut-turut. Pengusa ini harus orang yang lebih unggul baik dalam bidang intelektual maupun moralnya diantara yang ada. Disamping daya profetik yang dikaruniakan Tuhan kepadanya, ia harus memilki kualitas-kualitas berupa: kecerdasan, ingatan yang baik, pikiran yang tajam, cinta pada pengetahuan, sikap moderat dalam hal makanan, minuman, dan seks, cinta pada kejujuran, kemurahan hati, kesederhanaan, cinta pada keadilan, ketegaran dan keberanian, serta kesehatan jasmani dan kefasihan berbicara.
Tentu saja sangat jarang orang yang memiliki semua kualitas luhur tersebut, kalau terdapat lebih dari satu, maka menurut Al-Farabi yang diangkat menjadi kepala negara seorang saja, sedangkan yang lain menanti gilirannya. Tetapi jika tidak terdapat seorang pun yang memiliki secara utuh. Dua belas atribut tersebut, pemimpin negara dapat dipikul secara kolektif antara sejumlah warga negara yang termasuk kelas pemimpin.
Pemikiran Al-Farabi tentang kenegaraan terkesan ideal sebagaimana halnya konsepsi yang ditawarkan oleh Plato. Hal ini dimungkinkan, Al-Farabi tidak pernah memangku suatu jabatan pemerintahan, ia lebih menyenangi berkhalawat, menyendiri, sehingga ia tidak mempunyai peluang untuk belajar dari pengalaman dalam pengelolaan urusan kenegaraan. Kemungkinan lain yang melatarbelakangi pemikiran Al-Farabi itu adalah situasi  pada waktu itu, kekuasaan Abbassiyah diguncangkan oleh berbagai gejolak, pertentangan dan pemberontakan.

C.    Ibnu Sina

1.      Biografi

Nama lengkapnya Abu Ali al- Husien ibn Abdullah ibn Hasan ibn Ali ibn Sina. Ia dilahirkan didesa Afsyanah, dekat Buhkara, Persia Utara pada 370 H. Ia mempunyai kecerdasan dan ingatan yang luar biasa sehingga dalam usia 10 tahun telah mampu menghafal Al-Qur’an, sebagian besar sastra Arab dan juga hafal kitab metafisika karangan Aristoteles setelah dibacanya empat puluh kali. Pada usia 16 tahun ia telah banyak menguasai ilmu pengetahuan, sastra arab, fikih, ilmu hitung, ilmu ukur, filsafat dan bahkan ilmu kedokteran dipelajarinnya sendiri.

2.      Pemikirannya

a)      Kenabian

Sejalan dengan teori kenabian dan kemukjizatan, ibnu Sina membagi manusia kedalam empat kelompok:  mereka yang kecakapan teoretisnya telah mencapai tingkat penyempurnaan yang sedemikian rupa sehingga mereka tidak lagi membutuhkan guru sebangsa manusia, sedangkan kecakapan praktisnya telah mencapai suatu puncak yang demikian rupa sehingga berkat kecakapan imajinatif mereka  yang tajam mereka mengambil bagian secara langsung pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa masa kini dan akan datang. Kemudian mereka memiliki kesempurnaan daya intuitif, tetapi tidak mempunyai daya imajinatif. Lalu orang yang daya teoretisnya sempurna tetapi tidak praktis. Terakhir adalah orang yang mengungguli sesamanya hanya dalam ketajaman daya praktis mereka.
Nabi Muhammad memiliki syarat-syarat yang dibutuhkan seorang Nabi, yaitu memiliki imajinasi yang sangat kuat dan hidup, bahkan fisiknya sedemikian kuat sehingga ia mampu mempengaruhi bukan hanya pikiran orang lain, melainkan juga seluruh materi pada umumnya. Dengan imajinatif yang luar biasa kuatnya, pikiran Nabi, melalui keniscayaan psikologis yang mendorong, mengubah kebenaran-kebenaran akal murni dan konsep-konsep menjadi imaji-imaji dan simbol-simbol kehidupan yang demikian kuat sehingga orang yang mendengar atau membacanya tidak hanya menjadi percaya  tetapi juga terdorong untuk berbuat sesuatu. Apabila kita lapar atau haus, imajinasi kita menyuguhkan imaji-imaji yang hidup tentang makanan dan minuman. Pelambangan dan pemberi sugesti ini, apabila ini berlaku pada akal dan jiwa Nabi, menimbulkan imaji-imaji yang kuat dan hidup sehingga apapun yang dipikirkan dan dirasakan oleh jiwa Nabi, ia benar-benar mendengar dan melihatnya.

b)     Tasawuf

Tasawuf, menurut ibnu Sina tidak dimulai dengan zuhud, beribadah dan meninggalkan keduniaan sebagaimana yang dilakukan orag-orang sufi sebelumnya. Ia memulai tasawuf dengan akal yang dibantu oleh hati. Dengan kebersihan hati dan pancaran akal, lalu akal akan menerima ma’rifah dari al-fa’al. Dalam pemahaman bahwa jiwa-jiwa manusia tidak berbeda lapangan ma’rifahnya dan ukuran yang dicapai mengenai ma’rifah, tetapi perbedaannya terletak pada ukuran persiapannya untuk berhubungan dengan akal fa’al.
Mengenai bersatunya Tuhan dan manusia atau bertempatnya Tuhan dihati diri manusia tidak diterima oleh ibnu Sina, karena manusia tidak bisa langsung kepada Tuhannya, tetapi melalui prantara untuk menjaga kesucian Tuhan. Ia berpendapat bahwa puncak kebahagiaan itu tidak tercapai, kecuali hubungan manusia dengan Tuhan. Karena manusia mendapat sebagian pancaran dari perhubungan tersebut. Pancaran dan sinar tidak langsung keluar dari Allah, tetapi melalui akal fa’al.

D.    Al-Razi

1.      Sejarah lahir

Nama lengkap al-razi adalah Abu Bakar Muhammad ibnu Zakaria ibnu Yahya Al-Razi. Dalam wacana keilmuan barat, beliau dikenal dengan sebutan Razhes. Ia dilahirkan di Rayy, sebuah kota tua yang masa lalu bernama Rhoges, dekat Teheran, Republik Islam Iran pada tanggal 1 Sya’ban 251 H/865 M. Perlu diingat bahwasanya tempat yang ia tinggali yakni Iran ,yang sebelumnya terkenal dengan sebutan Persia, merupakan tempat dimana terjadinya pertemuan berbagai kebudayaan terutama kebudayaan Yunani dan Persia. Dengan suasana seperti lingkungan seperti ini mendorong bakat Al-Razi tampil sebagai seorang intelektual.
Ada beberapa nama tokoh lain yang juga dipanggil al-razi, yakni Abu Hatim Al-Razi dan Najmun Al-Razi. Oleh karena itu, untuk membedakan Al-Razi dengan yang lainnya, perlu ditambahkan dengan sebutan Abu Bakar, yang merupakan nama kun-yah-nya (gelarnya).
Beliau pernah menjadi tukang intan pada mudanya, penukar uang, dan pemain kecapi. Lalu beliau memusatkan perhatiannya pada ilmu kimia dan meninggalkannya akibat eksperimen-eksperimen yang dilakukannya yang menyebabkan mata terserang penyakit. Setelah itu, beliau mendalami ilmu kedokterang dan filsafat yang ada pada masa itu.
Ayahnya berharap Al-razi menjadi seorang pedagang besar, maka dari itu ayahnya membekali Al-razi ilmu-ilmu perdagangan. Akan tetapi, Al-Razi lebih memilih kepada bidang intelektual ketimbang dengan perdagangan karena menurutnya bidang intelektual merupakan perkara yang lebih besar ketimbang urusan dengan materi belaka.
Karena ketekunannya dalam bidang kedoteran dan filsafat, Al-Razi menjadi terkenal sebagai dokter yang dermawan, penyayang kepada pasien-pasiennya, oleh karena tiu dia sering memberi pengobata cuma-Cuma kepada orang miskin. Dan karena reputasinya dalam kedokteran, dia pernah mejabat sebagai kepala rumah sakit Rayy pada masa pemerintahan Gubernur Al-Mansur ibnu Ishaq. Kemudian dia berpindak ke Baghdad dan memimpin rumah saki di sana pada masa pemerintahan Khlifah Al-Muktafi. Setelah Al-Muktafi meninggal, ia kembali ke kota kelahirannya, kemudian id berpindah-pindah dari satu negeri ke negeri lainnya dan meninggal dunia pada tanggal 5 Sya’ban 313 H/ 27 Oktober 925 dalam usia 60 tahun.

2.      Karyanya

Mengenai karyanya, tentu berkaitan dengan siapa dia belajar, dan siapa yang mengajarkan ilmu pengetahuan kepadanya. Menurut Al-Nadim, beliau belajar filsafat kepada Al-Bakhli yang menguasai filsafat dan ilmu-ilmu kuno. Ia sangat rajin dalam menulis dan membaca, mungkin inilah yang menyebabkan penglihatannya secara berangsur-angsur melemah dan akhirnya buta total. Ia menolak akan untuk di obati dengan mengatakan bahwa pengobatan untuknya itu sia-sia karena tak sebentar lagi dia akan meninggal.
Tak heran jika karya-karyanya sangat banyak sekali bahkan dia menuliskan pada salah satu kitabnya, bahwasanya dia menulis tidak kurang sari 200 karya tulis dalam berbagai ilmu pengetahuan. Karya-karyanya yang meliputi:
  1. Ilmu Falak,
  2. Matematika,
  3. Bidang kimia, yang terkenal dengan Kitab As-rar
  4. 4.      Bidang kedoteran, yang terkenal dengan al-mansuri Liber al-Almansoris
  5. 5.      Bidang Medis, yang terkenal dengan kitab Al-Hawi,
  6. 6.      Mengenai penyakit cacar dan pencegahannya, yakni Kitab al-Judar wa al-Hasbah
Sebagian dari karyanya telah dikumpulkan menjadi satu kitab yang bernama al-Rasa’il Falsafiyyat dan buku-buku yang lainnya seperti Thib al-Ruhani, al-Sirah al-Falsafah dan lain sebagainya. Dia terkenal sebagai ahli kimia dan ahli kedokteran dibanding dengan sebagai filosof.

3.      Filsafatnya

Lima Kekal ( Al-Qadiim )
Karena filsafatnya terkenal dengan 5 yang kekal, maka kami sebagai pemakal memasukannya dalam makalah kami. Sebenarnya pemikirannya sangat banyak, akan tetapi yang akan kami bahas disini hanya pada pemikirannya mengenai 5 hal yang kekal.
5 hal yang kekal itu antara lain; Al-Baary Ta’ala (Allah Ta’ala), Al-Nafs Al-Kulliyyat (jiwa universal), Al-Hayuula al-Uula (materi pertama), al-Makaan al-Muthlaq (tampat/ruang absolut), dan al-Zamaan al-Muthlaq (masa absolut). Dan dia juga mengklasifikasinya pada yang hidup dan aktif. Yang hidup dan aktif itu Allah dan jiwa, yang tidak hidup dan pasif itu materi, yang tidak hidup, tidak aktif, dan tidak pula pasif itu ruang dan waktu.
Al-Baary Ta’ala (Allah Ta’ala), menurutnya Allah itu kekal karena Dia-lah yang menciptakan alam ini dari bahan yang telah ada dan tidak mungkin dia menciptakan ala mini dari ketiadaan (creatio ex nihilo). Al-Nafs Al-Kulliyyat (jiwa universal), menurutnya jiwa merupakan sesuatu yang kekal selain Allah, akan tetapi kekekalannya tidak sama dengan kekekalan Allah. Al-Hayuula al-Uula (materi pertama), disebut juga materi mutlak yang tidak lain adalah atom-atom yang tidak bisa dibagi lagi, dan menurutnya mengenai materi pertama, bahwasanya ia juga kekal karena diciptakan oleh Pencipta yang kekal.
Sebelumnya dia berpendat bahwa materi bersifat kekal dank arena materi ini menempati ruang, maka Al-Makaan al-Muthlaq (tampat/ruang absolute) juga kekal. Ruang dalam pandangannya dibedakan menjadi dua kategori, yakni ruang pertikular yang terbatas dab terikat dengan sesuatu wujud yang menempatinya,  dan ruang universal yang tidak terikat dengan maujud dan tidak terbatas.
Seperti ruang, dia membedakan pula Al-Zamaan al-Muthlaq (masa absolut) padad dua kategori yakni; waktu yang absolut/mutlak yang bersifat qadiim dan substansi yang bergerak atau yang mengalir (jauhar yajri), pembagian yang kedua yaitu waktu mahsur. Waktu mahsur adalah waktu yang berlandaskan pada pergerakan planet-planet, perjalanan bintang-bintang, dan mentari. Waktu yang kedua ini tidak kekal. Menurutnya, bahwasanya waktu yang kekal sudah ada terlebih dahulu sebelum adanya waktu yang terbatas.

E.     Ibnu Miskawaih

1.      Sejarah lahir

Nama lengkap Ibnu Miskawaih adalah Abu Ali Ahmad ibnu Muhammad ibnu Ya’kub ibnu Miskawaih. Ia dilahirkan di kota Rayy, Iran pada tahun 330 H/ 941 M dan wafat di asfahan pada tanggal 9 Shafar 421 H/ 16 Februari 1030 M. Dari buku yang kami dapatkan, tidak ada penjelasan yang sangat rinci mengungkapkan biograpinya. Namun, ada beberapa hal yang perlu dijelaskan, bahwa ibnu miskawaih belajar sejarah terutama Taarikh al-Thabari kepada Abu Bakar Ibnu Kamil Al-Qadhi dan belajar filsafat kepada Ibnu Al-Khammar, mufasir kenamaan karya-karya aristoteles.
Ibnu Miskawaih adalah seorang penganut syi’ah. Hal ini didasarkan pada pengabdiannya kepada sultan dan wazir-wazir syi’ah pada masa pemerintahan Bani Buwaihi ( 320 – 448 M ). Dan ketika sultan Ahmad ‘Adhud Al-Daulah menjabat sebagai kepala pemerintahan, ibnu Miskawaih menduduki jabatan yang penting, seperti pengangkatannya sebagai Khazin, penjaga perpustakaan Negara dan bendarahara negara.

2.      Karyanya

Dalam karyanya dalam disiplin ilmu meliputi kedokteran, sejarah dan filsafat. Akan tetapi, dia lebih terkenal sebagai seorang filosof akhlak, ( al-falsafat al-‘amaliyat ) ketimbang dengan seorang filosof ketuhanan ( al-falsafat al-nazhariyyat al-Illahiyat ).
Dalam buku The History of the Muslim Philoshopy disebutkan bahwa karya tulisannya itu; Al-Fauz al-Akbar, al-Fauz al-Asghar, Tajaarib al-Umaan ( sebuah sejarah tentang banjir besar yana ditulis pada tahun 369 H/ 979 M), Uns al-Fariid ( yakni koleksi anekdot, syair, peribahasa, dan kata-kata hikmah ), Tartiib al-Sa’adat ( isinya ahlak dan politik ), al-Mustaufa ( isinya syair-syair pilihan ), al-Jaami’, al-Siyaab, On the Simple Drugs ( tentang kedokteran ), On the composition of the Bajats ( tentang kedokteran ), Kitaab al-Ashribah ( tentang minuman ), Tahziib al-Akhlak ( tentang akhlak ), Risaalat fi al-Lazza wa al-Aalam fil jauhar al-Nafs, ajwibaat wa As’ilat fi al-Nafs wa al-‘Aql, Al-Jawaab fi Al-Masaa’il al-Salas, Risaalat fi Jawaab fi Su’al Ali ibnu Muhammad Abuu Hayyan al-Shufii fi HAqiiqat al-‘Aql, dan Tharathat al-Nafs.

3.      Akhlak

Ibnu miskawaih yang terkenal sebagai seorang yang moralis berpendapat bahwa akhlak  adalah suatu sikap atau keadaan jiwa yang mendorongnya untuk berbuat tanpa berpikir dan sama sekali tidak ada pertimbangan. Dengan kata lain, ahklak adalah tindakan yang tidak ada sama sekali pertentangan dalam dirinya untuk melakukan sesuatu. Menurut kami, ungkapan beliau mengenai hal ini sama dengan perkataan plato yang mengatakan bahwasanya cinta adalah gerak jiwa yang kosong.
Ibnu Miskawaih juga membagi tingkah laku pada dua unsur yakni; unsur watak naluriah dan unsur watak kebiasaan dengan melakukan latihan ( riyadhoh ). Serta dia berpandangan bahwa jiwa mempunyai tiga daya yang mana apabila ketigak daya ini beserta sifat-sifatnya selaras, maka akan menimbulkan sifat yang keempat yakni adil.
Adapun tiga daya yang dia maksud adalah; daya pikir, daya marah, dan daya keinginan. Sedangkan yang dia maksud dengan sifat utama mengenai ketiga daya ini antara lain adalah; sifat hikmah merupakan sifat utama bagi jiwa yang berpikir yang mana hikmah ini lahir dari ilmu. Rasa berani merupakan sifat utama bagi jiwa marah yang mana sifat berani ini timbul dari sifat hilm ( mawas diri ). Sedangkan sifat utama bagi jiwa keinginan adalah sifat murah yang merupakan sifat utamanya yang lahir dati ‘iffah ( memelihara kehormatan diri ).
Dapat disimpulkan bahwasanya sifat utama itu antara lain; hikmah, berani, dan murah yang apabila ketiga sifat utama ini selaras, maka sifati keempat akan timbul darinya, yakni keadilan. Sedangkan lawan dari semua sifat itu adalah bodoh, rakus, penakut, dan zalim.

F.     Ibnu Rusyd

1.      Sejarah kelahirannya

Nama asli dari Ibnu Rusyd adalah Abu Al-Walid Muhammad ibnu Ahmad ibnu Muhammad ibnu Rusyd, beliau dilahirkan di Cordova, Andalus pada tahun 510 H/ 1126 M, 15 tahun setelah kematiannya imam ghazali. Di dunia barat dia lebih terkenal dengan sebutan Averros, sedang di dunia islam sendiri lebih terkenal dengan nama ibnu Rusyd. Ibnu Rusyd adalah keturunan keluarga terhormat yang terkenal sebagai tokoh keilmuwan, sedang ayah dan kakeknya adalah mantan hakim di andalus. Pada tahun 565 H/ 1169 M dia diangkat menjadi seorang hakim di Seville dan Cordova. Dan pada tahun 1173 ia menjadi ketua mahkamah agung, Qadhi al-Qudhat di Cordova.
Salah satu faktor yang membuatnya menjadi seorang ilmuwan adalah karena dia tumbuh dan hidup dalam keluarga yang Ghirah-nya besar sekali dalam bidang keilmuwan. Akan tetapi yang menjadi faktor utamanya karena ketajamannya dalam berpikir serta kejeniusan otaknya. Dengan semua faktor-faktor di atas, tidaklah heran apabila dia menjadi seorang ilmuwan Muslim yang terkemuka.
Hal yang sangat mengagumkan dari ibnu Rusyd adalah semenjak dia sudah mulai berakal ( masa baligh ) hampir semua hidupnya ia pergunakan untuk belajar dan membaca. Tak pernah dia melewatkan waktunya selain untuk berpikir dan membaca, kecuali pada malam ayahnya meninggal dan ketika malam pernikahannya. Dengan keadaan seperti ini, membuat pemikirannya semakin tajam dan kuat dari waktu ke waktu.
Kehidupannya sebagai seorang hakim tidaklah mulus, ibnu Rusd pernah mengalami akan tuduhan pahit, yang pada dasarnya hanya untuk keperluan mobilisasi menghadapi pemberontakkan Kristen Spanyol, dia di tuduh kafir, lalu dia di adili dan sebagai hukumannya dia di buang ke Lucena, dekat Cordova. Tidak hanya itu saja, semua jabatannya sebagai hakim mahkamah agung dicopot serta semua bukunya di bakar, kecuali buku yang bersifat ilmu pengetahuan murni ( sains ), seperti kedokteran, matematika dan astronomi.
Setahun lamanya ibnu Rusyd mengalami masa yang sangat getir itu, dan pada tahun 1197 M, khlifah mencabut hukumannya dan mengembalikkan semua pangkat yang pernah dia pegang sebelumnya. Ibnu Rusyd meninggal 10 desember 1198 M/ 9 Shafar 595 H di marakesh dalam usia 72 tahun menurut perhitungan Masehi dan 75 tahun menurut perhitungan tahun Hijriyah.

2.      Karyanya

Tulisan ibnu Rusyd yang dapat kita dapati pada sekarang ini antara lain; Fashl al-Maqaal fi maa bain al-Hikmat wa al-Syari’ah min al-Ittishaal, buku ini berisikan korelasi antara agama dan filsafat. Al-Kasyf’an Manaahij al-Sdillah fi Aqaa’id al-Millat, sedang buku ini berisikan tentang kritik terhadap metode para ahli ilmu kalam dan sufi. Tahaafut al-Tahaafut, kitab ini berisikan tentang kritikan terhadap imam ghazali yang kitabnya berjudul Tahaafut al-Falaasifah. Sedangkan karnyanya dalam bidah fiqih yaitu buku yang berjudul Bidaayat al-Mujtahid wa Nihaayat al-Muqtashid.

3.      Hukum Sebab-Akibat dan Hubungannya dengan Mukjizat

Berikut ini merupakan bantahan Ibnu Ruysd terhadap imam ghazali mengenai sebab-akibat yang memang merupakan kejadian yang keluar dari kebiasaan;
  1. Terdapat hubungan yang dharuuriiy ( pasti ) antara sebab dan akibat
Menurut ibnu rusyd, bahwasanya semua benda atau segala sesuatu yang ada di alam ini memiliki sifat dan cirri tertentu yang disebut dengan zatiyah. Dengan arti bahwasanya untuk terwujudnya sesuatu keadaan mesti ada daya atau kekuatan yang telah ada sebelumnya. Menurut ibnu Rusyd, kita bisa mengenali mawjud yang ada ini dengan adanya hukum sebab-akibat zatiyah, maka dengan itu pula kita bisa membedakan antara satu dengan lainnya.
Misalnya, api yang sifat zatiyyah-nya adalah membakar, air yang sifat zatiyyah­-nya adalah membasahi. Sifat membakar dan membasahi ini adalah sifat zatiyyah-nya dan merupakan pembedan antara api dengan air, jika tidak ada sifat tertentu, tentunya air dan api sama saja, tidak ada bendanya, akan tetapi hal ini adalah sesuatu yang mustahil.
  1. Hubungan sebab-akibat dengan adat atau kebiasaan
Menurut ibnu rusyd, bahwasanya al-ghazali tidaklah jelas dalam mengemukakan pendapatnya mengenai sebab-akibat yang dianggap sebagai adat atau kebiasaan. Ibnu Rusyd mempertanyakan apakah yang al-ghazali maksud ini adalah adat fa’il (Allah), atau adat maujud, atau juga adat bagi kita dalam menentukan suatu sifat atau predikat terhadap maujud ini.
Kalaulah yang dimaksudnya adalah adat Allah, hal ini mustahil karena apa yang disebut dengan adat adalah suatu kemampuan atau potensi yang diusahakan oleh fa’il yang mengkibatkan berulang-ulangnya perhatin mawjud ini. Hal ini sangat bertentangan dengan ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa sunnatullah tidak akan berganti dan tidak berubah[1]. Jika yang dimaksudnya adalah adat bagi maujud, maka hal ini hanya akan berlaku bagi yang memiliki roh atau nyawa karena bagi yang selain itu, bukanlah adat namanya, tetapi tabia’at. Dan apabila yang dia maksud adalah adat bagi kita dalam menentukan suatu sifat atau predikat terhadap mawjud, sepert si fulan baik san sebagainya, maka hal ini mawjud terlepas daripada nisbat (hubungan)-nya kepada fa’il (Allah).
  1. Hubungan sebab-akibat dengan akal
Menurut ibnu Rusyd; pengetahuan akal tidak lebih daripada pengetahuan tentang gejala yang mawjud beserta sebab-akibatnya yang menyertainya. Pengingkaran terhadap sebab-akibat berarti pengingkaran terhadap akal dan ilmu pengetahuan.
  1. Hubungan sebab-akibat dengan mukjizat
Di awali dengan pendapatnya imam Ghazali, ketika seseorang percaya akan keniscayaan, maka akan mengakibatkannya tidak percaya terhadap adanya mukjizat nabi. Mengenai hal ini, ibnu rusyd membedakan antara dua mukjizat; mukjizat al-Barraaniy dan mukjizat al-Jawaaniy.
Mukjizat al-Barraaniy, adalah mukjizat yang diberikan kepada seorang Nabi, tetapi tidak sesuai dengan risalah kenabiannya, seperti tongkat nabi musa yang merumbah menjadi ular, nabi Isa yang dapat menghidupkan orang mati, dan lainnya. Mukjizat seperti ini yang saat itu dipandang sebagai mukjizat atau perbuatan diluar kebiasaan dan boleh jadi satu waktu dapat diungkapkan oleh pengetahuan. Ketika ilmu pengetahuan dapat mengungkapkannya, maka ia tidak dipandang sebagai mukjizat lagi.
Mukjizat al-Jawaaniy, adalah mukjizat yang diberikan kepada seorang nabi yang sesuai dengan risalah kenabiannya, seperti mukjizatNabi Muhammad yakni al-Quran. Mukjizat seperti inilah yang dipandang oleh ibnu Rusyd sebagai mukjizat yang sebenarnya, karena al-quran tidak dapat diungkapkan oleh pengetahuan (sains) dimana pun dan kapan pun.

No comments:

Post a Comment