Sunday 9 June 2019

SECANGKIR KOPI & SEDIKIT GULA...

Gambar mungkin berisi: cangkir kopi dan minuman

Lama gak ketemu dengan saudaraku.

Lebaran ini kami kumpul dan silaturahmi seperti dulu. Tapi ada yang berubah darinya.
Tiga tahun lalu kami pernah berada pada situasi yang sama seperti ini. Aku bertemu dia dalam kondisi berbeda. Wajahnya kusut tanpa cahaya. Aku tahu dia punya masalah besar. Kuajak dia ngopi di sebuah tempat yang sepi dan enak.
Entah kenapa aku ingin mendengar ceritanya. Setidaknya dengan mendengarkan cerita orang lain, aku bisa belajar darinya.

"Ada apa ?" Tanyaku membuka pembicaraan. Tidak butuh waktu lama dia mengeluarkan segala keluh kesahnya. Hutang yang melilit bagai ular berbisa, pendapatan yang minim dan kehilangan tempat bekerja. Sebuah masalah yang biasa dalam perjalanan hidup, tetapi menjadi luar biasa ketika sedang berada pada titik pusarannya.

Dia lelaki yang sedang kehilangan harga dirinya..

Aku teringat diriku yang pernah berada pada posisi yang sama. Hancur, patah dan merasa tak berharga. Semua yang kulakukan salah. Bahkan apa yang kuanggap potensi rejeki malah berbalik menjadi musibah.

Hingga pada satu waktu aku membaca sebuah nasihat yang menyentuh diriku. "Perbaikilah akhiratmu, maka Tuhan akan memperbaiki duniamu.." Imam Ali yang berkata, manusia terbijak yang pernah ada. Dan aku tiba-tiba paham, bahwa yang dimaksud akhirat bukan syariat, tetapi jauh lebih dalam maknanya.

Selama ini manusia selalu terpaku pada sudut pandang dunia. Ketika dia terluka, dia menganggap itu petaka. Padahal sudut pandang akhirat bisa saja berbeda. Itu adalah sebuah kenikmatan hanya kita tidak pernah menyadarinya. Karena kita terlalu sombong dan bodoh untuk mencari artinya.

Dan aku sadar sesudah itu, bahwa setiap langkah dan keputusanku selalu dipenuhi nafsu. Nafsu membentuk takdirku dan aku jatuh karena ambisiku. "Tuhan, bantu aku.." begitu pasrahku ketika lututku sudah tidak berdaya dan kepalaku tertekan ke tanah dalam posisi menyerah.

Penyerahan diriku itu membawa dampak menyakitkan. Aku dihajar habis-habisan dalam situasi yang jauh lebih menekan. Bukannya membaik malah semakin menghantam. Tapi tidak ada yang bisa kulakukan.

Akhirnya ada saat dimana akalku terang terbuka. Apa yang dulu kuanggap penghalang, ternyata adalah peluang terbuka. Satu persatu benang kusut masalah terurai. Aku sadar, tidak bisa menyelesaikan satu masalah dengan sekali tepukan. Manusia harus melalui semua proses untuk pembelajaran. Bahwa dirinya bukanlah apa-apa tetapi sombongnya melebihi Tuhan.

Kuceritakan kepada saudaraku apa yang pernah terjadi pada diriku. Dia mendengarkan dengan penuh minat dan logika berfikirnya terbuka. Ketika ia sudah paham, yang dibutuhkannya hanyalah kesabaran.

Tiga tahun berlalu dan kamipun bertemu kembali. Dia tersenyum melihatku. Wajahnya bercahaya, menandakan masalahnya satu persatu terurai. Dia tampak lebih tenang, bijak dan dewasa. Masalah itu mengajarinya. 

Dan sempat kudengar ia menasihati seorang saudara yang saat ini sedang terkulai. "Jangan cemaskan masa depanmu, itu urusan Tuhan. Cemaskanlah masa lalumu, dengan cara apa kamu bisa membayar maksiat yang pernah kamu lakukan ?"

Secangkir kopi datang. Kuseruput dengan pelan.
Kopi selalu mengingatkanku melalui ujung lidahku. Bahwa sejatinya hidup ini sangat pahit dan kita harus menambahkan sedikit rasa manis supaya semua seimbang...

Dikutip dari halaman Facebook @DennySiregar

Saturday 8 June 2019

ISLAM ITU SALAH...



"Setiap kali dia bikin gol, saya langsung menjadi muslim.."

Begitu teriakan seorang suporter Liverpool, klub sepakbola profesional dari Inggris ketika berbicara tentang Mo Salah. Ini hanya ungkapan metafora saja dengan perasaan euphoria, bukan secara nyata suporter Inggris yang terkenal beragama bola itu langsung jadi mualaf.

Mohamed Salah Ghaly atau Mo Salah memang menakjubkan. Striker kebanggaan Mesir dan sekarang merumput di Liverpool ini sudah menjadi ikon bagi para penggila bola disana.
Orang Liverpool sangat tahu Mo Salah beragama Islam, dan itu ternyata mempengaruhi mereka. Hasil riset dari Stanford University menunjukkan, sejak Mo Salah gabung di Liverpool tahun 2017, kriminalitas terhadap muslim disana turun sampai hampir 19 persen.

Bahkan menurut Stanford, kebencian terhadap Islam (Islamophobia) dari fans Liverpool di Twitter, turun drastis menjadi 50 persen. 

Stanford University menemukan bahwa faktor kebanggaan warga Liverpool terhadap pemain berusia 26 tahun dengan skor 71 gol dari 104 pertandingan itu menjadi penyebab utama turun drastisnya kebencian terhadap Islam disana.

Kebencian terhadap agama Islam sebelumnya tinggi sekali di Liverpool. Itu karena dipengaruhi oleh kejahatan ISIS dan para radikal yang malas dan berisik meski minoritas dan sibuk mengkafir-kafirkan penduduk sana. Tetapi sejak ada Mo Salah yang bahkan membawa Liverpool juara, kebencian itu turun drastis. 

Mo Salah membawa kecintaan kepada mereka. Hilang sudah stereotip bahwa Islam sebagai agama teroris dengan gol-gol indahnya Mo Salah dan kemampuannya merendahkan hati di depan para pengagumnya.

Mo Salah dengan sadar menjadi pendakwah Internasional dengan keahliannya menggiring bola. Ia tidak perlu memakai gamis dengan jenggot panjang dan jidat menghitam beserta seruan ayat-ayat untuk mengenalkan agamanya kepada dunia. Ia cukup bermain cantik dan produktif sehingga siapapun akan bangga terhadapnya terlepas dari apapun agamanya..

Apa yang dilakukan Mo Salah seharusnya menampar keras mereka yang menamakan diri mereka "ustad" atau "ulama" yang sibuk menjual ayat demi kepentingan sesaat. Apalagi mereka yang menjual jargon "cucu Nabi" supaya bisa membeli Rubicon dan bisa dapat empat istri supaya orang mau mengakui.

Apa yang bisa kita ambil dari pelajaran diatas ?
Bahwa berdakwah bisa dengan cara apa saja, bahkan tidak perlu banyak kata apalagi pake teriak-teriak dengan toa. Cukup dengan menunjukkan siapa diri kita maka mereka akan menghargai dari apa yang kita lakukan.

Agama Islam sempat dipandang tinggi pada masa Ibnu Sina, Al Khawarizmi yang mengenalkan konsep Aljabar dan Algoritma, Ibnu Khaldun dan banyak lagi ketika para ilmuwan itu memperkenalkan agama mereka dengan keilmuan, bukan dengan teriakan caci maki, mata memerah dan hidung mendengus layaknya sapi yang sudah lama dikebiri. 

Sekarang masa kejayaan itu sudah hilang diganti dengan banyaknya bom bunuh diri. Agama Islam masa kini pemeluknya semakin besar, tetapi - sialnya - banyak yang otaknya semakin mengecil, karena jarang dipakai untuk mengkaji.

Kalau Mesir punya Mo Salah, Indonesia punya Mo Kabur.. Sama2 berprestasi di dunia Internasional. Cuman satu di Liverpool, satunya di Saudi. Satunya pemain bola, satunya lagi pelari..
Pengen seruput kopi..

Dikutip dari halaman FB @DennySiregar

Tuesday 4 June 2019

- AKU BUKAN SEORANG MUSLIM -


"Benarkah kamu seorang muslim?."
Pertanyaan lama seorang teman ini pernah menghantui pikiranku. Ada ego yang mendadak mendesak keluar ketika pertanyaan itu pertama kali dilontarkan, "Ya. Aku muslim.." Ingin kujawab seperti itu.
Tapi tunggu dulu. Temanku ini selalu mempunyai jawaban yang lebih dalam dari sekedar sebuah keilmuan, yaitu pemahaman.

Kata Imam Ali dalam sebuah nasihat indahnya, "Periwayat ilmu itu banyak, tetapi yang memahaminya sedikit.." Dalam artian, siapapun bisa menyampaikan sebuah ilmu. Pertanyaannya, apakah ia paham apa yang ia sampaikan ?

Dan berbulan-bulan aku mencari jawabannya. Bahkan butuh tahunan.
Sampai akhirnya secara tidak sengaja aku bertemu seorang pendeta. Kami berdiskusi melintasi ruang-ruang keagamaan. Bagi kami, agama itu adalah sebuah petunjuk, sebuah kompas yang harus dipegang dalam perjalanan di dunia, jika tidak manusia akan tersesat di rimba belantara hidup yang penuh dengan jebakan..

Ia berkata, "Kita ini sejatinya bodoh, tetapi sombongnya luar biasa. Kita menganggap diri kita tahu segalanya, tapi sebenarnya tidak tahu apa-apa. Kita merasa diri kita benar, tetapi sejujurnya kita ini salah..."

Ia menyeruput kopinya. "Semua petunjuk itu mengandung kebenaran, manusianyalah yang salah mengartikan. Petunjuk-petunjuk itu mengarahkan kita pada kebaikan, tetapi kita menafsirkannya dengan arogan. Kamu benar, aku salah. Padahal, benar dan salah bukan manusia hakimnya.."
Pada titik itulah aku sadar dan mulai paham...

Petunjuk tetaplah petunjuk. Ia membutuhkan pemahaman, bukan sekedar pengetahuan.
Islam mempunyai arti yang dalam, yaitu kepasrahan total kepada Tuhan dengan mengikuti petunjuk RasulNya. Bukan sekedar sebuah simbol atau aksesoris yang disematkan dengan kebanggaan.
Petunjuk itu harus dipahami dengan nilai kemanusiaan dan kerendahan hati yang luar biasa, karena kesombongan menutup fakta yang ada. Mereka yang mempelajari Islam biasa disebut sebagai muslim. Tapi benarkah aku seorang muslim ?

Diriku mulai mengecil. Tidak aku sama sekali bukan seorang muslim. Petunjukku, jalan yang kupilih dengan sadar adalah Islam memang benar. Tetapi untuk bisa pasrah hanya kepada Tuhan, aku sama sekali tidak berdaya..

Mulut munafikku selalu bilang, aku percaya padaNya. Tetapi ketika datang kenikmatan berupa kemiskinan, aku menganggapnya musibah. Kemunafikanku berbicara aku pasrah padaNya, tetapi ketika diuji dengan sedikit kekurangan, aku bergetar ketakutan.

Dimana arti kata "pasrah kepada Tuhan" yang selalu kujadikan slogan kebenaran jika aku sendiri tidak pernah punya keyakinan yang benar terhadapNya ?
Mengakui diriku sebagai seorang muslim, sejatinya seperti seorang pelari yang masih berada di garis start tetapi sudah merasa menjadi pemenang.

Aku menjadi orang sombong tanpa kusadari, hanya karena mengklaim bahwa akulah pemenang. Bodoh tanpa kusadari. Dan aku hidup dalam kebanggaan tanpa pernah paham bahwa sebenarnya aku ditertawakan banyak orang..

Kuambil handphoneku, kukirim pesan pada temanku itu..
"Bukan aku bukan seorang muslim. Aku sedang berusaha menjadinya dan mencapainya. Muslim atau bukan diriku, bukan aku yang menentukan.."

Lama kemudian temanku membalas pesanku. "Kamu sudah mulai paham.."

Kuseruput secangkir kopi malam ini. Bahkan untuk pengetahuan sesederhana itu, aku harus berjalan sangat jauh. Sungguh aku sejatinya tidak mengerti apa-apa..


Dikutip dari Halaman FB @DennySiregar

Monday 3 June 2019

- KITA YANG MUNAFIK INI...-



"Jujur, sebenarnya saya malu kalau ikut acara bukber. Malu sama orang miskin dimana di bulan puasa ini kita sedang mencoba memahami kelaparan mereka, ketiadaan mereka...

Karena kita sedang berpura-pura menjadi mereka, tanpa sedikitpun menjadi mereka. Kita berbuka dengan kemewahan, sedang mereka tetap seperti apa adanya. Kita punya hari kemenangan, sedangkan mereka setiap hari merasakan kalah...

Kita hanya menjalankan perintah, sedangkan mereka menjalani hidupnya. Kita hanya menunda lapar kita, sedangkan lapar ada dalam setiap tarikan nafas mereka...

Bahkan kita lebih senang menjalankan ritual tanpa perduli maknanya. Kita lebih senang menyimpan uang untuk belanja makanan berbuka puasa, tanpa memikirkan berbagi rejeki pada mereka yang sedang tidak berpunya.

Saat lebaran kita memamerkan apa yang kita punya pada keluarga, tanpa sedikitpun berfikir bahwa ada kepala keluarga yang bingung ketika anaknya bertanya, "besok kita makan apa, pak ?"
Dan setiap tahun, saya selalu merasa kalah. Kalah oleh kemunafikan saya. Tidak ada sedikitpun yang saya bisa banggakan sebagai kemenangan..."

Perkataan temanku yang beruntun itu seperti mengingatkanku kembali akan makna berpuasa, yang hanya terdengar dalam mimbar2 ceramah dan hilang ketika kaki melangkah pulang.
Manusia selalu menghibur dirinya bahwa ia sudah melakukan ibadah, padahal ia sejatinya hanya menjalankan kewajiban belaka. Tanpa ada perintah, bisa jadi manusia akan selalu lupa fungsi dirinya di dunia..

Ah, sudah hampir buka. Kusiapkan secangkir kopiku sebagai teman pengingat ketika diri ini merasa berada di puncak kejayaan...


Oleh : Denny Siregar
Dikutip dari halaman Facebook @DennySiregar 

Sunday 2 June 2019

- Men"Tarbiyah"kan Hamunan Paradoks -

Gambar mungkin berisi: langit dan luar ruangan 

Banyak nan letai...
Banyak nan kepo...
Junjuongan mati taji...
Penguaso nan dikato-kato...

"Gotah menggotah" paliong mumpuni...
Hamun ma hamun lah ndak takonang kaji ghibah...
Meraso paliong "Tarbiyah" mengaji...
Padahal khotam pun olun bab Thaharah...

Buruok balako kebijakan penguaso...
Togak dibarisan pembangkang...
Maghaso diri taaniayo dan taseso...
"Toat kek pemimpin" olah jadi kaji usang...

Hamunan paradoks dianggap "Tarbiyah"...
Masuok kek kandang "Tarbiyah"...
Meghaso diri paliong Tarbiyah...
Hamunan bukan Pendidikan...
Meghaso terdidik nyatonyo Hamunan...
Indak konang dan khotam kaji tuah Lisan...

Balajaw Penderhaka kek pemimpin...
Balajaw toat kek keduo ughang tuo...
Padahal ughang tuo dan penguaso...
Samo-samo status "Maqom" nyo sebagai Insan...

Oh...Paradoks...
Oh...Tarbiyah...
Hamunan paradoks nan dianggap "Tarbiyah"...


Oleh Pitopangsan