Saturday, 16 February 2019

- Interpretasi salah paham masyarakat dalam menyikapi konsep Wala' & Bara' Ibnu Taimiyyah di negara Demokrasi yang Damai (Tidak Perang) -

Hasil gambar untuk wala bara


Banyak yang terlampau semangat mempelajari konsep Al-Wala' wa Al-Bara' nya syaikh ibnu Taimiyyah tanpa menganalisa lebih teliti apa yang melatarbelakangi seorang syaikh selevel ibnu Taimiyyah sangat keras dan militan dalam menerapkan konsep wala' dan bara' pada masanya dan kondisi seperti apa yang sedang dialami oleh masyarakat muslim saat itu. 

Syaikh Ibnu Taimiyyah hidup dikala perang salib berkecamuk dan penyerbuan bangsa tar-tar (mongol) ke baghdad, kondisi negara saat itu bukan dalam keadaan damai sentosa. Kondisi chaos terciptanya perang, menuntut ummat islam pada masa itu untuk mempertahankan semangat dan kekuatan militer dalam menghalau musuh. Konsep Al-wala' dan Al-bara' lah yang menurut pemikiran syaikh ibnu taimiyyah sangat mumpuni untuk membangkitkan GHIRAH perang ummat islam pada era perang salib dan penyerbuan bangsa tar-tar melanda Dinasti islam di baghdad.

Jadi, sangat amat wajar dan realistis konsep yang digaungkan oleh syaikh ibnu taimiyyah didalam kondisi kritis, genting dan berkecamuk perang pada kala itu. Konsep wala' dan bara' tadi dianggap sebagai "dopping" pembangkit semangat perangnya ummat islam dalam menghadapi musuh islam yang mampu mengancam kekhalifahan islamiyah (faktor keamanan negara).

Karna, alasan perang itulah konsep wala' dan bara' sangat keras, disipilin dan kaku diterapkan oleh syaikh ibnu taimiyyah kepada ummat islam pada waktu itu.

Pertanyaan sekarang yang muncul adalah :
Bagaimana konsep wala' dan bara' ini digaungkan jika, negaranya dalam keadaan tidak perang alias damai, aman, sentosa, rukun dan berdemokrasi ??? Terlebih-lebih lagi hanya sebatas mempertahankan issue politik kekuasaan bukan dalam hal mempertahankan keamanan negara (kesatuan negara).

Indonesia bukanlah ladang yang tepat untuk menghembuskan konsep ghirah religiusitas, karna masyarakat Indonesia punya demokrasi dalam beragama yaitu kebebasan dalam memeluk dan menjalankan syariat agama masing-masing. Konsep wala' dan bara' dinegara yang damai (tidak perang) justru akan memicu disintegrasi bangsa yang dipicu oleh issue SARA.

Oleh Pitopangsan

Sunday, 10 February 2019

- Anti Jokowi Part 3 -

Hasil gambar untuk islam nusantara


Pada tulisan artikel "Anti Jokowi Part 1" sebelumnya diuraikan mengenai "asumsi buta" sebahagian oknum masyarakat awam terhadap anjloknya harga getah dipasaran jual, disebabkan karna tak adanya proteksi kebijakan harga getah dari pemerintah Pakde Joko. Sehingga ujug-ujug tanpa menganalisa dan mempertimbangkan instrumen supply/demand atau instrumen kualitas mutu dari produksi getah itu sendiri, petani/cukong langsung gerah dengan melampiaskan kekecewaan/kekesalan kepada pemerintah yang berkuasa. Al-hasil sudah kadung kecewa/kesal semua kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintahan pakde Joko dipersalahkan dan tidak ada yang benar dimata mereka. Malahan, terdengar suara sumbing (sebagai Issue Propaganda) membanding-bandingkan hebatnya pemerintahan Mr. president SBY dulu mampu membuat harga getah melambung mahal dari harga normal. Bertitik tolak dari "asumsi buta" inilah, banyak sebahagian oknum masyarakat awam kita menjadi buta akal sehatnya untuk menganalisa dan mengambil keputusan secara realistis. Padahal dalam ilmu ekonomi semua yang berkaitan dengan produksi, distribusi, konsumsi bahkan penetapan harga pasar itu ditentukan oleh instrumen pasar yaitu DEMAND & SUPPLY. Jadi, berhentilah menyalahkan pemerintah dalam hal "getah menggetahkan" oranglain

Sedangkan, dalam tulisan artikel "Anti Jokowi Part 2" yang lalu juga diulas tentang issue fitnah yang menerpa Pakde Joko dengan mensatire marwah diri seorang pemimpin yang sudah jelas dan terang keislamannya dalam bersyariat. Lalu ujug-ujug muncul issue propaganda seperti issue PKI, keturunan tionghoa, Pakde Joko tidak islam karna dikelilingi Partai PDI-P bahkan sampai ke issue paham komunisme. Bermula issue propaganda dan fitnah diatas bersumber dari media cetak "OBOR RAKYAT" pada masa pilpres 2014 yang lampau. Al-hasil dari propaganda dan fitnah tersebut menciptakan semacam brainwash (cuci otak) dikalangan masyarakat awam yang tak sama sekali mengetahui fakta sebenarnya. Efek dari cuci otak tadi mempengaruhi emosional pikiran masyarakat untuk membenci dan anti Jokowi dalam pilpres. 

Tulisan artikel "Anti Jokowi Part 3" akan dilanjutkan dengan mengangkat issue "Menumpang emosi ummat dengan membawa issue SARA, bukan substansi agama."
Substansi dari beragama adalah kemaslahatan ummat bukan membawa mudharat kepada ummat dengan mensatire issue-issue SARA yang berujung propaganda, hoax dan fitnah terhadap lawan politik. Lantas sekarang kenapa agama dijadikan tameng dalam politik ? Jawabannya ada dua, jika dikalangan rakyat biasa (massa), agama hanya sebatas emosi. Sementara jika dikalangan elite, hanya menjadikan agama sebagai alat untuk meraih dukungan politik. 

Issue-issue agama yang dituduhkan terhadap pakde Joko diantaranya adalah : 

- Pakde Joko Keislamannya diragui karna dibarisan PDI-P
- Pakde Joko mengkriminalisasi Ulama
- Pakde Joko tidak bisa mengimami sholat berjamaah
- Pakde Joko mengucap Alfateka bukan Al fatihah
- Pakde Joko tak pandai mengaji
- Pakde Joko penganut Islam Nusantara
- Pakde Joko Jaenudin Ngaciro, dan lain-lainnya.

Kesemua dari issue agama diatas sama sekali tidak menyentuh substansi beragama yaitu KEMASLAHATAN ummat. Padahal kenyataannya dilapangan adalah :

- Pakde Joko masih beragama islam sampai sekarang
- Pakde Joko mengeluarkan SP3 terhadap kasus habib Rizieq, memberikan ruang kebebasan dalam   bersyariat tanpa adanya tekanan, membantu membangun infrastruktur pendidikan islam dan membantu membangun pondok pesantren, membantu menyumbang hewan Qurban diwaktu hari raya idul adha yang kesemuanya itu adalah untuk kemaslahatan ummat dan orang banyak (substansi agama tadi).
-Pakde Joko pernah mengimami sholat berjamaah
-Pakde Joko beda mengucapkan Al Fateka, karna faktor logat dan lisan orang jawa dalam mengucapkan makhraj huruf. Padahal arti inti didalam hati beliau adalah Al Fatihah yang bermakna Surat Pembukaan.
-Pakde Joko mampu mengaji al Qur'an
-Pakde Joko mengorbitkan Islam Nusantara dengan memberikan ruang terhadap seorang Qori pembaca Al qur'an dengan langgam jawa, tanpa merubah tajwid dan makhraj. Dengan syarat langgam mengikuti bacaan, bukan bacaan mengikuti langgam. Lantas apa yang salah dengan ke islaman Nusantara ???

Sekian, semoga bermanfaat dan tercerahkan.
Oleh Pitopangsan

Saturday, 2 February 2019

- Anti Jokowi Part 2 -

Hasil gambar untuk PKI 



 




"Debu Propaganda" dalam mensatire issue politik menjelang Pilpres 2019 ini sangat tampak jelas. Dunia maya via sosial media adalah senjata ampuh untuk mempengaruhi pemilih dalam Pilpres 2019. Biasanya masyarakat awam yang terkena imbas dari "Debu Propaganda" issue politik praktis, susah untuk menerima pendapat dan pemikiran yang berbeda (berseberangan), dikarnakan tak adanya masukan sumber bahan pembanding yang dijadikan rujukan untuk tetap mengambil langkah sehat dalam berpikir dan berargumen secara objektif. 

Ambil satu contoh sahaja di pilpres 2014 yang silam, marak tersebar dimedia sosial (Twitter) dan media cetak (Tabloid Obor Rakyat) issue Simpatisan PKI, issue keturunan Tionghoa, issue paham komunisme yang dituduhkan kepada sosok pakde Joko  sangat massive dan terorganisir untuk mempropagandakan image buruk terhadap beliau. 

Setelah tabloid Obor Rakyat dibredel oleh pihak berwenang dan diselidiki ternyata Issue keturunan tionghoa dan PKI yang dituduhkan terhadap Pakde Joko  adalah semata fitnah, tanpa ada bukti otentik dan fakta kesahihannya. 

Kenapa harus issue PKI dan paham komunisme yang dihembuskan ?  karna, dinegara ini untuk menjatuhkan kredibilitas nama baik seseorang ataupun kelompok kalau tidak dengan issue korupsi, issue seks bebas, ya atau juga dengan issue paham komunisme alias PKI. Dan sama-sama diketahui bahwa sejarah telah mencatat 3 kali (1927, 1948 dan 1965) kelompok ini (PKI) mencoba memberontak dan merongrong integritas kebhinnekaan negara Indonesia.    

Sampai saat ini, menjelang pilpres 2019 menuju hari H nya, masih terdengar issue PKI dan keturunan Tionghoa yang dituduhkan kepada Pakde Joko. Padahal sudah jelas bahwa, sosok Pakde Joko tidak lain adalah masih berdarah keturunan seorang kiyai. Tepatnya, keturunan dari Kiai Yahya, salah seorang pengawal Pangeran Diponegoro. 

Kiai Yahya sendiri adalah putera dari Kiai Abdul Jalal, seorang ulama yang menjadi pendiri tanah perdikan di wilayah Kalioso (daerah selatan utara Solo). Jika silsilah ini ditarik ke atas, maka Jokowi merupakan keturunan dari Jaka Tarub (Raden Kidang Telakas). Dan Jaka Tarub sendiri adalah (dipercaya) putera dari Maulana al-Maghribi, yang dipercaya sebagai salah satu penyebar agama Islam awal di tanah Jawa.

Nah, inilah yang kita sebut sebagai sumber bahan pembanding agar propaganda issue keturunan PKI itu bisa dipatahkan dikalangan masyarakat awam yang telah terlanjur mempercayai issue tersebut. "Debu Propaganda" ini jika, dihirup kedalam otak akan menjadi makanan konsumsi otak yang buruk dan tak menyehatkan buat seseorang. Tolak issue Hoax dengan cerdas mencari tahu sumber-sumber lain sebagai pembanding, bukan berkutat pada satu sisi semata yang ternyata adalah fitnah dan kebohongan. 

Cerdaslah dalam memilih, jangan termakan issue, dan ingat "Fitnah lebih kejam dari pembunuhan."

Bersambung...
- Anti Jokowi Part 3 -

Oleh Pitopangsan

- Anti Jokowi Part 1 -

Hasil gambar untuk karet riau





Demen (suka) ama issue politik itu tidak lain adalah suatu ekspresi dalam berpolitik (yaaa hanya sekedar mengekspresikan hobi sahajaa). Tapi, mencari fakta dan kebenaran dalam issue politik agar banyak orang tercerahkan, yang sebelumnya jahiliyah dan bengkok atau terkena imbas "debu propaganda" adalah tugas kemanusiaan selaku  manusia yang memiliki bathin agar sama-sama menapaki jalan lurus (kebenaran).

Barang jadi, seseorang tak memilih sosok Jokowi karna faktor 5 tahun yang silam tepatnya 2014 telah memilih Jokowi dalam pilpres. Lalu selama periode beliau berkuasa, seseorang tadi tak menemukan apa yang menjadi harapannya. Tak  merasakan profit oriented, tak mengenyam kepentingan oriented bahkan berasa tertipu oleh jargon kesederhanaan dan merakyatnya sosok Jokowi dipilpres 2014 yang lalu. 

Jangan bilang satu suara dalam pilpres itu tak punya nilai profit oriented terhadap sipemilih. Jika sipemilih itu adalah pemilik (petani getah) ataupun toke getah (karet) maka, yang menjadi asa (harapan) buat mereka adalah bagaimana campurtangan kebijakan ekonomi pemerintah agar harga getah meroket dipasaran. Meskipun kenyataannya harga karet murah atau mahal tergantung terhadap DEMAND dan SUPPLY produksi getah itu sendiri. Kualitas yang jelek dari getah karet itu sendiri juga mampu menyumbangkan merosotnya harga getah dipasaran. Hal lainnya yang juga mempengaruhi adalah melimpahnya produksi getah (over produksi) yang mengakibatkan membanjirnya produksi getah dipasaran juga membawa peluang harga getah merosot. 

Al-hasil karna tak menyadari dua hal diatas (kualitas yang jelek & over produksi), maka ujug-ujug tanpa didasari akal sehat si petani dan toke getah tadi, melampiaskan kekesalannya dengan menyalahkan dan menjelekkan pemerintah yang sedang berkuasa. Itulah salah satu faktor masyarakat awam  ogah kembali memilih Jokowi. Hilang sedikit akal sehat, karna berharap banyak dari campurtangan kebijakan pemerintah berkuasa. 

Bersambung Part 2 ...
Oleh Pitopangsan