Banyak yang terlampau semangat mempelajari konsep Al-Wala' wa
Al-Bara' nya syaikh ibnu Taimiyyah tanpa menganalisa lebih teliti apa
yang melatarbelakangi seorang syaikh selevel ibnu Taimiyyah sangat keras
dan militan dalam menerapkan konsep wala' dan bara' pada masanya dan kondisi seperti apa yang sedang dialami oleh masyarakat muslim saat itu.
Syaikh Ibnu Taimiyyah hidup dikala perang salib berkecamuk dan
penyerbuan bangsa tar-tar (mongol) ke baghdad, kondisi negara saat itu
bukan dalam keadaan damai sentosa. Kondisi chaos terciptanya perang,
menuntut ummat islam pada masa itu untuk mempertahankan semangat dan
kekuatan militer dalam menghalau musuh. Konsep Al-wala' dan Al-bara' lah
yang menurut pemikiran syaikh ibnu taimiyyah sangat mumpuni untuk
membangkitkan GHIRAH perang ummat islam pada era perang salib dan penyerbuan
bangsa tar-tar melanda Dinasti islam di baghdad.
Jadi, sangat amat wajar dan realistis konsep yang digaungkan oleh syaikh ibnu taimiyyah didalam kondisi kritis, genting dan berkecamuk perang pada kala itu. Konsep wala' dan bara' tadi dianggap sebagai "dopping" pembangkit semangat perangnya ummat islam dalam menghadapi musuh islam yang mampu mengancam kekhalifahan islamiyah (faktor keamanan negara).
Karna, alasan perang itulah konsep wala' dan bara' sangat keras, disipilin dan kaku diterapkan oleh syaikh ibnu taimiyyah kepada ummat islam pada waktu itu.
Pertanyaan sekarang yang muncul adalah :
Bagaimana konsep wala' dan bara' ini digaungkan jika, negaranya dalam keadaan tidak perang alias damai, aman, sentosa, rukun dan berdemokrasi ??? Terlebih-lebih lagi hanya sebatas mempertahankan issue politik kekuasaan bukan dalam hal mempertahankan keamanan negara (kesatuan negara).
Indonesia bukanlah ladang yang tepat untuk menghembuskan konsep ghirah religiusitas, karna masyarakat Indonesia punya demokrasi dalam beragama yaitu kebebasan dalam memeluk dan menjalankan syariat agama masing-masing. Konsep wala' dan bara' dinegara yang damai (tidak perang) justru akan memicu disintegrasi bangsa yang dipicu oleh issue SARA.
Oleh Pitopangsan
Jadi, sangat amat wajar dan realistis konsep yang digaungkan oleh syaikh ibnu taimiyyah didalam kondisi kritis, genting dan berkecamuk perang pada kala itu. Konsep wala' dan bara' tadi dianggap sebagai "dopping" pembangkit semangat perangnya ummat islam dalam menghadapi musuh islam yang mampu mengancam kekhalifahan islamiyah (faktor keamanan negara).
Karna, alasan perang itulah konsep wala' dan bara' sangat keras, disipilin dan kaku diterapkan oleh syaikh ibnu taimiyyah kepada ummat islam pada waktu itu.
Pertanyaan sekarang yang muncul adalah :
Bagaimana konsep wala' dan bara' ini digaungkan jika, negaranya dalam keadaan tidak perang alias damai, aman, sentosa, rukun dan berdemokrasi ??? Terlebih-lebih lagi hanya sebatas mempertahankan issue politik kekuasaan bukan dalam hal mempertahankan keamanan negara (kesatuan negara).
Indonesia bukanlah ladang yang tepat untuk menghembuskan konsep ghirah religiusitas, karna masyarakat Indonesia punya demokrasi dalam beragama yaitu kebebasan dalam memeluk dan menjalankan syariat agama masing-masing. Konsep wala' dan bara' dinegara yang damai (tidak perang) justru akan memicu disintegrasi bangsa yang dipicu oleh issue SARA.
Oleh Pitopangsan