Sunday, 10 February 2019

- Anti Jokowi Part 3 -

Hasil gambar untuk islam nusantara


Pada tulisan artikel "Anti Jokowi Part 1" sebelumnya diuraikan mengenai "asumsi buta" sebahagian oknum masyarakat awam terhadap anjloknya harga getah dipasaran jual, disebabkan karna tak adanya proteksi kebijakan harga getah dari pemerintah Pakde Joko. Sehingga ujug-ujug tanpa menganalisa dan mempertimbangkan instrumen supply/demand atau instrumen kualitas mutu dari produksi getah itu sendiri, petani/cukong langsung gerah dengan melampiaskan kekecewaan/kekesalan kepada pemerintah yang berkuasa. Al-hasil sudah kadung kecewa/kesal semua kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintahan pakde Joko dipersalahkan dan tidak ada yang benar dimata mereka. Malahan, terdengar suara sumbing (sebagai Issue Propaganda) membanding-bandingkan hebatnya pemerintahan Mr. president SBY dulu mampu membuat harga getah melambung mahal dari harga normal. Bertitik tolak dari "asumsi buta" inilah, banyak sebahagian oknum masyarakat awam kita menjadi buta akal sehatnya untuk menganalisa dan mengambil keputusan secara realistis. Padahal dalam ilmu ekonomi semua yang berkaitan dengan produksi, distribusi, konsumsi bahkan penetapan harga pasar itu ditentukan oleh instrumen pasar yaitu DEMAND & SUPPLY. Jadi, berhentilah menyalahkan pemerintah dalam hal "getah menggetahkan" oranglain

Sedangkan, dalam tulisan artikel "Anti Jokowi Part 2" yang lalu juga diulas tentang issue fitnah yang menerpa Pakde Joko dengan mensatire marwah diri seorang pemimpin yang sudah jelas dan terang keislamannya dalam bersyariat. Lalu ujug-ujug muncul issue propaganda seperti issue PKI, keturunan tionghoa, Pakde Joko tidak islam karna dikelilingi Partai PDI-P bahkan sampai ke issue paham komunisme. Bermula issue propaganda dan fitnah diatas bersumber dari media cetak "OBOR RAKYAT" pada masa pilpres 2014 yang lampau. Al-hasil dari propaganda dan fitnah tersebut menciptakan semacam brainwash (cuci otak) dikalangan masyarakat awam yang tak sama sekali mengetahui fakta sebenarnya. Efek dari cuci otak tadi mempengaruhi emosional pikiran masyarakat untuk membenci dan anti Jokowi dalam pilpres. 

Tulisan artikel "Anti Jokowi Part 3" akan dilanjutkan dengan mengangkat issue "Menumpang emosi ummat dengan membawa issue SARA, bukan substansi agama."
Substansi dari beragama adalah kemaslahatan ummat bukan membawa mudharat kepada ummat dengan mensatire issue-issue SARA yang berujung propaganda, hoax dan fitnah terhadap lawan politik. Lantas sekarang kenapa agama dijadikan tameng dalam politik ? Jawabannya ada dua, jika dikalangan rakyat biasa (massa), agama hanya sebatas emosi. Sementara jika dikalangan elite, hanya menjadikan agama sebagai alat untuk meraih dukungan politik. 

Issue-issue agama yang dituduhkan terhadap pakde Joko diantaranya adalah : 

- Pakde Joko Keislamannya diragui karna dibarisan PDI-P
- Pakde Joko mengkriminalisasi Ulama
- Pakde Joko tidak bisa mengimami sholat berjamaah
- Pakde Joko mengucap Alfateka bukan Al fatihah
- Pakde Joko tak pandai mengaji
- Pakde Joko penganut Islam Nusantara
- Pakde Joko Jaenudin Ngaciro, dan lain-lainnya.

Kesemua dari issue agama diatas sama sekali tidak menyentuh substansi beragama yaitu KEMASLAHATAN ummat. Padahal kenyataannya dilapangan adalah :

- Pakde Joko masih beragama islam sampai sekarang
- Pakde Joko mengeluarkan SP3 terhadap kasus habib Rizieq, memberikan ruang kebebasan dalam   bersyariat tanpa adanya tekanan, membantu membangun infrastruktur pendidikan islam dan membantu membangun pondok pesantren, membantu menyumbang hewan Qurban diwaktu hari raya idul adha yang kesemuanya itu adalah untuk kemaslahatan ummat dan orang banyak (substansi agama tadi).
-Pakde Joko pernah mengimami sholat berjamaah
-Pakde Joko beda mengucapkan Al Fateka, karna faktor logat dan lisan orang jawa dalam mengucapkan makhraj huruf. Padahal arti inti didalam hati beliau adalah Al Fatihah yang bermakna Surat Pembukaan.
-Pakde Joko mampu mengaji al Qur'an
-Pakde Joko mengorbitkan Islam Nusantara dengan memberikan ruang terhadap seorang Qori pembaca Al qur'an dengan langgam jawa, tanpa merubah tajwid dan makhraj. Dengan syarat langgam mengikuti bacaan, bukan bacaan mengikuti langgam. Lantas apa yang salah dengan ke islaman Nusantara ???

Sekian, semoga bermanfaat dan tercerahkan.
Oleh Pitopangsan

No comments:

Post a Comment