JAKARTA - Ada pemandangan yang tidak lazim di kereta rel listrik (KRL) rute Parung Panjang-Tanah Abang, Kamis (25/6) siang.
Lantunan merdu ayat Alquran terdengar sayup-sayup di salah satu gerbong kereta tersebut. Suaranya seakan sahut-menyahut. Kadang lantunan itu jelas, kadang seakan hilang karena kalah dengan kerasnya decit bunyi rem kereta. Suara-suara merdu Alquran itu dilantunkan puluhan remaja perempuan yang memenuhi bangku di gerbong ketiga.
Karena kebetulan penumpang tak terlalu berjubel, mereka tampak rapi duduk memenuhi bangku di sisi kanan dan kiri. Tangan sekitar 80-an perempuan berhijab itu tampak memegang erat Alquran kecil karena KRL sering bergoyang-goyang. Kendati begitu, mereka tampak khusyuk mendaras Alquran meski penumpang juga keluar masuk ketika KRL berhenti tiap stasiun.
Puluhan pendaras dadakan ini merupakan santri-santri putri Pesantren Terpadu Darul Quran Mulia Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Keberadaannya di KRL di siang nan terik itu bukan untuk promosi KRL ataupun kegiatan pesantren. Layaknya penumpang lain, mereka tengah bepergian. ”Kami naik dari Serpong mau ke Bekasi, silaturahmi ke salah satu teman sekaligus khataman,” ujar Jihan Afifah, 15, salah satu santri.
Kehadiran Afifah dan puluhan teman-temannya tak ayal menyulap gerbong KRL seakan menjadi pesantren dadakan. Suasana gerbong ramai dengan para penumpang, tapi bukan penumpang biasa, melainkan yang tengah mengaji dan sebagian lagi menghafal Alquran. Soal mengaji di KRL, Afifah mengaku sama sekali tak diperintah oleh pimpinan ponpes.
Sebagai santri ponpes penghafal Alquran, menurut remaja asal Tanah Abang, Jakarta Pusat ini, Alquran adalah kitab suci yang tak bisa dilepaskan dari aktivitas hariannya. Lebih-lebih di bulan yang penuh berkah dan limpahan pahala ini, menurut dia, para santri berlomba mendaras sebanyakbanyaknya. ”Alhamdulillah puasa ini sudah khatam satu kali,” ujar remaja yang belum lama ini khatam menghafal 30 juz Alquran tersebut.
Atiqah, 15, santri lainnya juga mengaku sudah hafal Alquran setelah tiga tahun mondok di Darul Quran Mulia. Seusai kelulusan, Atiqah dan santri lain kini diberi kebebasan sejenak memegang ponsel. Di sela mengaji di KRL, mereka juga sesekali membuka-buka ponsel untuk chatting, mendengarkan musik lewat headshet atau sekadar bermain.
Meski pemandangan tak biasa, kehadiran puluhan santri ini justru mendapat sambutan baik sejumlah penumpang lain. Mereka tampak tak terganggu. Bahkan mereka menilai hal ini bisa jadi inspirasi agar penumpang terbiasa memanfaatkan waktu luang, lebih-lebih saat Ramadan. ”Jujur salut, perlu dibudayakan di luar Ramadan,” ujar Ramli, salah satu penumpang asal Ciputat, Tangerang Selatan.
Di Bulan Suci dan di tengah kesibukan yang tinggi, banyak warga Jakarta memang terpaksa menjalankan ritualritual ibadah sunah di ruang publik. Mereka tetap berupaya mencari keberkahan Ramadan ini tanpa mengurangi intensitas pekerjaannya. Basori, PNS yang berkantor di kawasan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat mengaku tiap di KRL sebisa mungkin dia menyempatkan untuk mendaras Alquran.
Tak harus menenteng kitab suci, mendaras kini lebih praktis seperti lewat smartphone. Dengan cara ini, dia berupaya bersikap adil (ta’ adul ) dalam membagi waktu antara bekerja dan beribadah. Banyaknya keutamaan dan keberkahan di bulan Ramadan membuat orang tak ingin melewatkan begitu saja.
Umumnya mereka merasakan keteduhan yang sangat berbeda saat menjalankan ibadah ketimbang hari biasa. Bahkan Ramadan justru terasa lebih merekatkan persaudaraan antarsesama. ”Saya pernah saat berbuka di KRL, tanpa dikomando penumpang saling berbagi takjil. Ini keren dan membuat trenyuh,” tutur Mubarak, warga Depok.
Mengaji, saling menghargai sesama (tasamuh ), dan berbagi inilah potret kecil tradisi pesantren yang tak terasa telah dilakukan sebagian orangorang Jakarta kala di ruang publik. Di tengah tekanan hidup ibu kota yang kian ketat, nilai-nilai spiritualitas, kesederhanaan dan kebersahajaan itu menjelma meski baru sebatas kala Ramadan.
Lantunan merdu ayat Alquran terdengar sayup-sayup di salah satu gerbong kereta tersebut. Suaranya seakan sahut-menyahut. Kadang lantunan itu jelas, kadang seakan hilang karena kalah dengan kerasnya decit bunyi rem kereta. Suara-suara merdu Alquran itu dilantunkan puluhan remaja perempuan yang memenuhi bangku di gerbong ketiga.
Karena kebetulan penumpang tak terlalu berjubel, mereka tampak rapi duduk memenuhi bangku di sisi kanan dan kiri. Tangan sekitar 80-an perempuan berhijab itu tampak memegang erat Alquran kecil karena KRL sering bergoyang-goyang. Kendati begitu, mereka tampak khusyuk mendaras Alquran meski penumpang juga keluar masuk ketika KRL berhenti tiap stasiun.
Puluhan pendaras dadakan ini merupakan santri-santri putri Pesantren Terpadu Darul Quran Mulia Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Keberadaannya di KRL di siang nan terik itu bukan untuk promosi KRL ataupun kegiatan pesantren. Layaknya penumpang lain, mereka tengah bepergian. ”Kami naik dari Serpong mau ke Bekasi, silaturahmi ke salah satu teman sekaligus khataman,” ujar Jihan Afifah, 15, salah satu santri.
Kehadiran Afifah dan puluhan teman-temannya tak ayal menyulap gerbong KRL seakan menjadi pesantren dadakan. Suasana gerbong ramai dengan para penumpang, tapi bukan penumpang biasa, melainkan yang tengah mengaji dan sebagian lagi menghafal Alquran. Soal mengaji di KRL, Afifah mengaku sama sekali tak diperintah oleh pimpinan ponpes.
Sebagai santri ponpes penghafal Alquran, menurut remaja asal Tanah Abang, Jakarta Pusat ini, Alquran adalah kitab suci yang tak bisa dilepaskan dari aktivitas hariannya. Lebih-lebih di bulan yang penuh berkah dan limpahan pahala ini, menurut dia, para santri berlomba mendaras sebanyakbanyaknya. ”Alhamdulillah puasa ini sudah khatam satu kali,” ujar remaja yang belum lama ini khatam menghafal 30 juz Alquran tersebut.
Atiqah, 15, santri lainnya juga mengaku sudah hafal Alquran setelah tiga tahun mondok di Darul Quran Mulia. Seusai kelulusan, Atiqah dan santri lain kini diberi kebebasan sejenak memegang ponsel. Di sela mengaji di KRL, mereka juga sesekali membuka-buka ponsel untuk chatting, mendengarkan musik lewat headshet atau sekadar bermain.
Meski pemandangan tak biasa, kehadiran puluhan santri ini justru mendapat sambutan baik sejumlah penumpang lain. Mereka tampak tak terganggu. Bahkan mereka menilai hal ini bisa jadi inspirasi agar penumpang terbiasa memanfaatkan waktu luang, lebih-lebih saat Ramadan. ”Jujur salut, perlu dibudayakan di luar Ramadan,” ujar Ramli, salah satu penumpang asal Ciputat, Tangerang Selatan.
Di Bulan Suci dan di tengah kesibukan yang tinggi, banyak warga Jakarta memang terpaksa menjalankan ritualritual ibadah sunah di ruang publik. Mereka tetap berupaya mencari keberkahan Ramadan ini tanpa mengurangi intensitas pekerjaannya. Basori, PNS yang berkantor di kawasan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat mengaku tiap di KRL sebisa mungkin dia menyempatkan untuk mendaras Alquran.
Tak harus menenteng kitab suci, mendaras kini lebih praktis seperti lewat smartphone. Dengan cara ini, dia berupaya bersikap adil (ta’ adul ) dalam membagi waktu antara bekerja dan beribadah. Banyaknya keutamaan dan keberkahan di bulan Ramadan membuat orang tak ingin melewatkan begitu saja.
Umumnya mereka merasakan keteduhan yang sangat berbeda saat menjalankan ibadah ketimbang hari biasa. Bahkan Ramadan justru terasa lebih merekatkan persaudaraan antarsesama. ”Saya pernah saat berbuka di KRL, tanpa dikomando penumpang saling berbagi takjil. Ini keren dan membuat trenyuh,” tutur Mubarak, warga Depok.
Mengaji, saling menghargai sesama (tasamuh ), dan berbagi inilah potret kecil tradisi pesantren yang tak terasa telah dilakukan sebagian orangorang Jakarta kala di ruang publik. Di tengah tekanan hidup ibu kota yang kian ketat, nilai-nilai spiritualitas, kesederhanaan dan kebersahajaan itu menjelma meski baru sebatas kala Ramadan.
Sources : koran-sindo.com
No comments:
Post a Comment