Pada
tanggal 12 april 2014 pada hari sabtu yang lampau, dalam sebuah acara
pertemuan, para kader PKB dan pengurus ormas islam, PBNU terdengar hikmat
mendengarkan arahan dan wejangan-wejangan yang disampaikan, oleh salah satu
tokoh terkenal ormas islam, PBNU Prof. Dr. Said Aqil Siroj. Itulah nama sosok
yang telah mengisi pemikiran para kader PKB dan pengurus PBNU, agar kekuatan
PKB dalam menentukan sikap untuk berkoalisi bisa lebih kesatu arah. Berikut
adalah petikan wejangan dari Said Aqil Siradj, : “Kita tidak ingin ada dikotomi
koalisi partai Islam dan non Islam, karena kesannya menjadi primordial. Yang
penting kepentingan bangsa didahulukan, karena kalau negara maju, umat Islam
sebagai mayoritas juga akan maju,” katanya di gedung PBNU, Sabtu
(12/4).
Sekilas memang terdengar sumbing,
statement dari sang kyai yang “berjubahkan” gelar Professor itu. Namun,
ironisnya saya menganggap positif pesan yang disampaikan oleh tokoh PBNU
tersebut. Mungkin aura positif dan tidak selalu sentimen kepada orang lain itu
yang coba saya aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Tidak ada salahnya
memang berpikiran positif terhadap seseorang, baik itu lawan maupun kawan. Tapi,
tidak sampai disitu saja, rasa penasaranpun mulai terasuki untuk memetik kemana
maksud “bola tembakan pas” yang akan “ditendang” oleh Said Aqil Siroj melalui
lisannya tersebut. Tokoh PBNU ini selalu mewarna-warnai hari-hari penentuan
sikap berkoalisi partai PKB, sekalipun pada detik dan malam ini belum ada
keputusan pasti dari sang jendral politik, Muhaimin Iskandar (Cak Imin) untuk
mengukuhkan pilihan berlabuhnya “armada besar“ PKB ke “dermaga merahnya” partai
PDI P Megawati Soekarnoputri. Armada ini dilihat dari tepi pantai tampak masih
terombang-ambing dalam ombak laut ketidakpastian. Namun, dikarenakan satu makna
kata saja yang terlontar dari lisan Said Aqil maka, ketidakpastian dikubu PKB
itu berangsur-angsur sedikit mengalami kemajuan untuk menetapkan pilihan
koalisi ke “Dermaga Merah”. “Dikotomi” itulah salahsatu istilah kata yang keren
untuk terus dilontarkan agar individu dan kelompok yang pada awalnya berdamai,
bisa terpicu untuk menabuhkan genderang perangnya ! Memang agak terkesan
ekstrim terdengar andaikata konotasi dikotomi tersebut dijadikan cambuk untuk
memukul lawan yang semula menganggap kawan.
Sadar
ataupun tidak sungguh apa yang telah diucapkan oleh tokoh besar PBNU tersebut
sudah melukai sebahagian perasaan damai ummat islam di NKRI yang kita cintai
ini. “Dikotomi”, “dikotomi”, “dikotomi dan dikotomi” harusnya ucapan ini cukup
kita sematkan buat para imperialis dan para penjajah negara ini untuk
melancarkan taktik adu domba mereka kepada kaum pribumi yang tertindas. Alhasil
penjajah negeri ini sukses untuk membelah persatuan ummat islam pribumi.
Sungguh disayangkan perkataan ini keluar dari mulut seorang yang berpendidikan
dan terhormat.
Selain
istilah dikotomi cukup mumpuni untuk memecah belah ummat, namun dalam konteks
bernegara apalagi dalam suasana hotnya pengaturan koalisi partai politik, maka
saya anggap Said Aqil Siroj tidak paham akan apa itu yang namanya strategi
politik buat rakyat yang damai. Bagaimana mungkin bisa, seorang yang
berpendidikan ditempah untuk selalu berlaku netral kepada subjek penelitiannya
telah melalaikan konsep ilmiah tersebut. Kenetralan itu tidaklah tampak dimimik
mukanya Profesor tersebut, seolah-olah ummat islam itu hanya sebagai pembelah,
pemecah dan bukanlah pemersatu bangsa ini. Boleh jadi dalam urusan pendidikan
agama Said Aqil diacungkan jempol dalam ilmunya, tapi dalam ilmu sejarah
pemersatu dan pengorbanan bangsa ini rupanya sang profesor jebolan timur tengah
itu sudah lupa, berapa banyak darah yang diteteskan oleh pahlawan yang notabene
melekat kuat beragama Islam fanatis, abangan atau modern. Sedikit saya kasih
contoh, perjuangan jendral Soedirman, Bung Tomo, Bung Hatta, Natsir lewat
Masyuminya, bahkan pendiri NU sekalipun sungguh sudah banyak berkorban terhadap
bangsa dan negara NKRI ini ! Layakkah istilah dikotomi itu coba-coba kita sematkan
kepada ummat ini ?
Justeru
mempertahankan kelompok dan ormas agar mendapatkan keuntungan yang banyak dan
mengabaikan aspirasi-aspirasi rakyat yang beragama islam itulah buah dari
Primordialisme itu sendiri. Ini tidak dapat dinafikan, istilah
pengkotak-kotakkan tersebut tidaklah enak didengar apalagi sengaja untuk
diumbar agar mendapatkan tujuan kepentingan profit kelompok tertentu. Ummat ini
sudah lelah untuk terus mendengar istilah dikotomi tersebut, sama lelahnya kita
menyaksikan perbedaan paham antara NU dan Muhammadiyah, Miskin dan Kaya, Atasan
dan Bawahan. Seharusnya kita harus bertanya-tanya dalam hati kecil, kenapa
ummat islam di NKRI ingin menyatukan diri dan terlibat dalam kancah ranah
politik melalui partai-partai politik berbasis islam ? Tanda tanya besar ini
harus disikapi positif dan ditampung dalam satu wadah komunikasi yang baik,
ternyata ummat islam dan ormas-ormas islam dinegara ini masih peduli akan nasib
dari ummat dan nasib kejayaan bangsa kelak. Secara politik ummat islam sadar
bahwa kekuatan dan kekuasaan kelak akan mungkin bisa terwujud dalam satu
kebersamaan ideologi, namun secara kebangsaan dan arah tujuan NKRI ummat islam
tidak akan mengkotakkan ummat non muslim dinegara ini. Terbukti lambang negara
kita masih burung garuda, dan falsafah negara kita masih PANCASILA. Lantas
apalagi yang ditakutkan oleh Prof. Dr. Said Aqil Siroj kalau negara ini masih
utuh dalam NKRI ? Sekian. Salam NKRI !
No comments:
Post a Comment