Wednesday, 30 April 2014

“ KOALISI DIKOTOMI “ Fobia & Syndrom yang tak beralasan !



            
            
             Pada tanggal 12 april 2014 pada hari sabtu yang lampau, dalam sebuah acara pertemuan, para kader PKB dan pengurus ormas islam, PBNU terdengar hikmat mendengarkan arahan dan wejangan-wejangan yang disampaikan, oleh salah satu tokoh terkenal ormas islam, PBNU Prof. Dr. Said Aqil Siroj. Itulah nama sosok yang telah mengisi pemikiran para kader PKB dan pengurus PBNU, agar kekuatan PKB dalam menentukan sikap untuk berkoalisi bisa lebih kesatu arah. Berikut adalah petikan wejangan dari Said Aqil Siradj, : “Kita tidak ingin ada dikotomi koalisi partai Islam dan non Islam, karena kesannya menjadi primordial. Yang penting kepentingan bangsa didahulukan, karena kalau negara maju, umat Islam sebagai mayoritas juga akan maju,” katanya di gedung PBNU, Sabtu (12/4).
            Sekilas memang terdengar sumbing, statement dari sang kyai yang “berjubahkan” gelar Professor itu. Namun, ironisnya saya menganggap positif pesan yang disampaikan oleh tokoh PBNU tersebut. Mungkin aura positif dan tidak selalu sentimen kepada orang lain itu yang coba saya aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Tidak ada salahnya memang berpikiran positif terhadap seseorang, baik itu lawan maupun kawan. Tapi, tidak sampai disitu saja, rasa penasaranpun mulai terasuki untuk memetik kemana maksud “bola tembakan pas” yang akan “ditendang” oleh Said Aqil Siroj melalui lisannya tersebut. Tokoh PBNU ini selalu mewarna-warnai hari-hari penentuan sikap berkoalisi partai PKB, sekalipun pada detik dan malam ini belum ada keputusan pasti dari sang jendral politik, Muhaimin Iskandar (Cak Imin) untuk mengukuhkan pilihan berlabuhnya “armada besar“ PKB ke “dermaga merahnya” partai PDI P Megawati Soekarnoputri. Armada ini dilihat dari tepi pantai tampak masih terombang-ambing dalam ombak laut ketidakpastian. Namun, dikarenakan satu makna kata saja yang terlontar dari lisan Said Aqil maka, ketidakpastian dikubu PKB itu berangsur-angsur sedikit mengalami kemajuan untuk menetapkan pilihan koalisi ke “Dermaga Merah”. “Dikotomi” itulah salahsatu istilah kata yang keren untuk terus dilontarkan agar individu dan kelompok yang pada awalnya berdamai, bisa terpicu untuk menabuhkan genderang perangnya ! Memang agak terkesan ekstrim terdengar andaikata konotasi dikotomi tersebut dijadikan cambuk untuk memukul lawan yang semula menganggap kawan.
Sadar ataupun tidak sungguh apa yang telah diucapkan oleh tokoh besar PBNU tersebut sudah melukai sebahagian perasaan damai ummat islam di NKRI yang kita cintai ini. “Dikotomi”, “dikotomi”, “dikotomi dan dikotomi” harusnya ucapan ini cukup kita sematkan buat para imperialis dan para penjajah negara ini untuk melancarkan taktik adu domba mereka kepada kaum pribumi yang tertindas. Alhasil penjajah negeri ini sukses untuk membelah persatuan ummat islam pribumi. Sungguh disayangkan perkataan ini keluar dari mulut seorang yang berpendidikan dan terhormat.
Selain istilah dikotomi cukup mumpuni untuk memecah belah ummat, namun dalam konteks bernegara apalagi dalam suasana hotnya pengaturan koalisi partai politik, maka saya anggap Said Aqil Siroj tidak paham akan apa itu yang namanya strategi politik buat rakyat yang damai. Bagaimana mungkin bisa, seorang yang berpendidikan ditempah untuk selalu berlaku netral kepada subjek penelitiannya telah melalaikan konsep ilmiah tersebut. Kenetralan itu tidaklah tampak dimimik mukanya Profesor tersebut, seolah-olah ummat islam itu hanya sebagai pembelah, pemecah dan bukanlah pemersatu bangsa ini. Boleh jadi dalam urusan pendidikan agama Said Aqil diacungkan jempol dalam ilmunya, tapi dalam ilmu sejarah pemersatu dan pengorbanan bangsa ini rupanya sang profesor jebolan timur tengah itu sudah lupa, berapa banyak darah yang diteteskan oleh pahlawan yang notabene melekat kuat beragama Islam fanatis, abangan atau modern. Sedikit saya kasih contoh, perjuangan jendral Soedirman, Bung Tomo, Bung Hatta, Natsir lewat Masyuminya, bahkan pendiri NU sekalipun sungguh sudah banyak berkorban terhadap bangsa dan negara NKRI ini ! Layakkah istilah dikotomi itu coba-coba kita sematkan kepada ummat ini ?
Justeru mempertahankan kelompok dan ormas agar mendapatkan keuntungan yang banyak dan mengabaikan aspirasi-aspirasi rakyat yang beragama islam itulah buah dari Primordialisme itu sendiri. Ini tidak dapat dinafikan, istilah pengkotak-kotakkan tersebut tidaklah enak didengar apalagi sengaja untuk diumbar agar mendapatkan tujuan kepentingan profit kelompok tertentu. Ummat ini sudah lelah untuk terus mendengar istilah dikotomi tersebut, sama lelahnya kita menyaksikan perbedaan paham antara NU dan Muhammadiyah, Miskin dan Kaya, Atasan dan Bawahan. Seharusnya kita harus bertanya-tanya dalam hati kecil, kenapa ummat islam di NKRI ingin menyatukan diri dan terlibat dalam kancah ranah politik melalui partai-partai politik berbasis islam ? Tanda tanya besar ini harus disikapi positif dan ditampung dalam satu wadah komunikasi yang baik, ternyata ummat islam dan ormas-ormas islam dinegara ini masih peduli akan nasib dari ummat dan nasib kejayaan bangsa kelak. Secara politik ummat islam sadar bahwa kekuatan dan kekuasaan kelak akan mungkin bisa terwujud dalam satu kebersamaan ideologi, namun secara kebangsaan dan arah tujuan NKRI ummat islam tidak akan mengkotakkan ummat non muslim dinegara ini. Terbukti lambang negara kita masih burung garuda, dan falsafah negara kita masih PANCASILA. Lantas apalagi yang ditakutkan oleh Prof. Dr. Said Aqil Siroj kalau negara ini masih utuh dalam NKRI ? Sekian. Salam NKRI !

No comments:

Post a Comment