Thursday, 1 May 2014

Bercerai-berainya tekad berkoalisi Partai berbasis Islam di Indonesia

 

Memasuki waktu hampir satu bulan sudah, Pemilu Legislatif 9 April 2014 berlalu. Sekalipun sudah terhitung cukup lama namun, sampai detik opini ini ditulis, pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU) Indonesia Pusat, belum juga mengumumkan Rekapitulasi Hasil Resmi pemungutan suara. Akan tetapi, hasil sementara Quick Count (QC) dari berbagai survei, terhitung suara pemilih ummat islam yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia merata. Terbukti partai-partai berbasis islam mengalami kenaikan yang cukup signifikan, kenaikan yang cukup mencolok dirasakan pada kubu internal partai PKB (partai kebangkitan bangsa), partai yang berafiliasi dan terorganisir dengan ormas islam NU (Nahdhatul Ulama) mengantongi suara sebanyak 9,13%. Senasib dengan PKB juga dialami oleh PAN (partai amanat nasional) mengantongi suara sebanyak 7,5%. Urutan ke 3 dimiliki oleh PKS (partai keadilan sejahtera) memperoleh suara sebanyak 7% selanjutnya partai berlambang ka'bah yaitu PPP (partai persatuan pembangunan) dengan perolehan suara sebesar 6,7%. Dari ke 5 peserta Pileg 2014 tersebut, hanya 1 partai berbasis islam saja yang tidak bakalan lolos syarat ambang batas parlementari atau lebih dikenal dengan istilah PT (Parlementary Threshold), yaitu Partai Bulan Bintang (PBB).
Hasil penghitungan cepat survei tersebut, telah membuktikan bahwa partai-partai berbasis islam yang semula diprediksi banyak lembaga survei tidak akan lolos PT, namun kenyataan terjadi sekarang, eksistensi dan kekuatan partai berbasis islam masih tetap mendarah daging dan menjantung dalam masyarakat muslim Indonesia yang notabene pemilih tetap. Wajib untuk di syukuri program keberhasilan partai-partai basis islam ini, sejatinya bendera partai islam masih mampu untuk berkibar. 
Seyogyanya, moment keberhasilan ini diiringi dengan pembentukan koalisi yang berporos kepada kekuatan ummat islam. Beberapa tokoh besar negara ini seperti Prof. Amien Rais, Dr. Din Syamsuddin, dan beberapa ormas islam, baik yang berafiliasi pada massa ormas PBNU maupun Muhammadiyah beserta ormas-ormas islam lainnya pun ikut mendukung, untuk terbentuknya poros baru yaitu poros tengah jilid II. Namun, apalah daya Tuhan berkehendak lain tidak mempersatukan partai-partai islam tersebut dalam satu koalisi yang kuat. Terkesan para petinggi pengambil kebijakan masing-masing partai islam tersebut tidak mampu untuk menahan ego dan saling tidak mau mengalah, masing-masing partai memiliki calon presidennya sendiri sehingga titik temu untuk berkoalisi tidak dapat diciptakan. 
Ironis dan bercampur kekecewaan, sejatinya persentase suara  yang cukup dibilang besar yaitu sebesar 33% akhirnya lenyap begitu saja. Di kubu PKB contohnya, selangkah lagi akan mengkristalkan perahu besarnya untuk merapat ke dermaga besar partai nasionalis yaitu PDI P pimpinan Megawati Soekarno Putri. Partai bulan sabit yaitu PKS pun senada dengan PKB, lebih memilih berkoalisi dengan partai Gerindra yang dikepalai oleh sang mantan jenderal Prabowo Subiyanto. Begitupun dengan partai berlambang matahari terbit yaitu PAN, naga naganya akan kembali berkoalisi dengan partai besan yakni PD (partai demokrat). Tinggal bersisa partai berlambang ka'bah saja yang belum menentukan pasti kemana arah koalisinya entah merapat ke PDIP atau ke GOLKAR. Masih menunggu informasi kepastian. 
            Sungguh dilema, kekuatan massa islam di Indonesia ini memiliki kekuatan yang sangat besar, namun tak bisa dikoordinasikan dalam penggabungan partai-partai islam. Berbagai manuver politik dan alasan ideologi yang telah usang coba dilontarkan untuk mematahkan semangat membentuk kekuatan poros islam tersebut.  Salah satu contoh manuver politik yang coba dibangun oleh Cak Imin selaku ketum PKB, jauh hari beliau sudah pesimistis partai-partai islam akan bisa bergabung, dengan berani beliau mengatakan negara ini bukan milik ummat islam saja, jadi butuh peleburan kepada partai nasionalis seperti PDIP. Senada dengan Cak Imin, tokoh ulama besar PBNU yaitu Dr. Aqil Siradj mengatakan jangan ada lagi pengkotak-kotakan (DIKOTOMI) dalam kalangan masyarakat Indonesia, sejatinya dikotomi akan menciptakan Primordialisme. Salah satu Ulama sepuh (senior) PBNU pun pernah mewanti-wanti kader PKB dan ormas PBNU bahwa dulu NU memiliki masa suram bergabung dengan partai Masyumi pada tahun 1955. 
Masih banyak lagi faktor dan alasan krusial yang membuat bercerai-berai nya kekuatan tokoh partai-partai islam di kancah perpolitikan negara ini, terlepas dari itu semua semoga diharapkan seluruh ummat islam di Indonesia saat ini, harus belajar menunggu untuk bersabar dan berlapang dada menerima kenyataan pahit yang telah terjadi. Sekian. Salam NKRI.

No comments:

Post a Comment