Thursday, 7 August 2014

Abu Bakar Al Baghdadi Lebih Berbahaya daripada Usamah bin Ladin

Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri

Kekhawatiran saya mengenai orang-orang Indonesia yang akan bergabung dengan Negara Islam Irak dan Suriah alias ISIS -- beberapa kali saya sampaikan di kolom ini --  kini benar-benar terjadi. Sekelompok pemuda Indonesia beberapa waktu lalu muncul dalam video yang dirilis ISIS. Dalam video berdurasi delapan menit itu, seseorang yang menyebut dirinya Abu Muhammad Al Indonesi -- yang tampaknya pemimpin kelompok itu -- menyerukan para warga Indonesia bergabung dengan ISIS.

Dalam video berjudul ‘Ayo Bergabung’ itu, ia tampil bersemangat dan meminta dukungan masyarakat Indonesia bagi perjuangan ISIS. ‘‘Mari berusaha sekuat-kuatnya, baik secara fisik maupun materi untuk hijrah ke Negara Islam (ISIS) ini,’’ demikian antara lain dikatakan Abu Muhammad. ‘‘Ini merupakan kewajiban yang diperintahkan oleh Allah.’’ 

Sebelumnya, dua video serupa juga telah dirilis ISIS. Kedua video itu menampilkan dua warga Australia dan Inggris. Seperti halnya Abu Muhammad Al Indonesi, para warga Australia dan Inggris itu juga memakai nama ‘jihad’ mereka. Kedua warga Australia dengan nama Abu Yahya Al Shami dan Abu Nur Al Iraqi. Sedangkan seorang warga Inggris menyebut dirinya Abu Mutsanna Al Yamani. Dalam video itu mereka juga menyerukan kepada umat Islam untuk ikut berjuang bersama ISIS.

Menurut data intelijen, sebagaimana dikutip media Al Sharq Al Awsat, kini terdapat lebih dari tiga ribu ‘pejuang‘ asing bergabung dengan ISIS. Mereka berasal dari Belgia, Prancis, Inggiris, Australia, Amerika, dan sejumlah negara Barat lainnya. Ini belum termasuk mereka yang berasal dari negara-negara Arab. Dari Arab Saudi saja terdapat lebih dari seribu pemuda yang kini bergabung dengan ISIS di Irak dan Suriah.

Lalu apa dan bagaimana ISIS itu? Siapa pula Abu Bakar Al Baghdadi yang telah berhasil merayu (baca: merekrut) ribuan ‘pejuang’ asing untuk bergabung dengan Negara Islam di Irak dan Suriah? 

Al Baghdadi muncul ke publik untuk pertama kalinya ketika menyampaikan khutbah Jumat pada 4 Juli 2014 di Kota Mosul (350 km utara Baghdad). Berjenggot abu-abu, bergamis hitam, dan bertutup kepala sorban hitam pula, dalam kemunculannya selama sekitar setengah jam itu  ia meminta kepada jamaah dan umat Islam di seluruh dunia untuk mentaatinya sebagai khalifah umat Islam. 

Sepekan sebelumnya, ia telah mendeklarasikan berdirinya Negara Islam di Irak dan Suriah alias ISIS. Daerah kekuasaanya meliputi wilayah luas yang sebelumnya berhasil mereka kuasai:  Suriah bagian utara dan timur serta Irak bagian utara, barat, dan timur. Termasuk dua kota Mosul dan Tikrit.

Menurut Chales Lister, peneliti dari Lembaga Brookings Doha Center, sebagaimana dikutip Aljazirah.net, kemunculan Al Baghdadi di depan publik untuk pertama kalinya mengandung beberapa makna. Pertama, menunjukkan dirinya dan juga organisasinya sangat percaya diri. Hal ini dibuktikan, meskipun ia most wanted lantaran dianggap teroris kelas wahid, namun ia berani muncul di Mosul dengan dikawal hanya beberapa orang. 

‘’Di masjid yang sangat ramai itu ia tampil berkhutbah selama setengah jam. Ini menunjukkan Al Baghdadi adalah orang yang sangat pemberani dan percaya diri.’’

Kedua, menunjukkan perubahan mendasar kepemimpinan Al Baghdadi. Kalau sebelumnya ia merupakan tokoh misterius, bahkan bagi para pengikutnya, kini ia seolah ingin mengatakan ‘inilah sosok pemimpin yang harus kalian taati’. Ketiga, untuk memperlihatkan kepada seluruh dunia bahwa Negara Islam di Irak dan Suriah alias ISIS kini bukan sekadar slogan perjuangan. Namun, benar-benar sudah berdiri kokoh. 

Syarat-syarat dasar (primer) sebagai sebuah negara pun telah terpenuhi: memiliki rakyat, mempunyai wilayah, dan ada pemerintahan yang berdaulat dengan bentuk kekhalifahan dengan kepala pemerintahan/negara yang disebut khalifah. Sedangkan pengakuan negara lain atau komunitas internasional hanyalah persyaratan sekunder yang tampaknya ia tak peduli alias sebodo amat.

Sebutan khalifah pun bukannya tanpa maksud. Seorang khalifah adalah memerintah negara tanpa batas, meskipun Al Baghdadi menyebut negaranya sebagai Negara Islam di Irak dan Suriah.  Dengan kata lain, semua umat Islam di mana pun berada harus taat dan berbaiat kepada dia. Itulah sebabnya ia merekrut bala tentara dari berbagai bangsa.

Marilah kita simak penuturan Abu Mutsanna Al Yamani, pemuda Inggris yang telah bergabung dengan tentara Al Baghdadi dalam sebuah video yang telah dirilis ISIS beberapa waktu lalu. ‘’Negara kami adalah tanpa batas. Kami telah berperang di Suriah. Kini kami ‘berjihad’ di Irak. Setelah ini kami mungkin akan berperang di Lebanon dan Yordania atau ke tempat mana pun sesuai perintah Khalifah Al Baghdadi,’’ ujar pemuda 20-an tahun ini. ‘‘Kami bagaikan anak panah dan terserah Khalifah Al Baghdadi mengarahkan kami ke sasaran mana pun.’’

Sejumlah pengamat di media Aljazira dan Al Sharq Al Awsat menilai Al Baghdadi lebih berbahaya dibandingkan dengan Usamah bin Ladin. Usamah yang berasal dari Arab Saudi tidak pernah menjadi kepala negara atau diangkat sebagai kepala negara, meskipun ia merupakan pendiri dan pemimpin Alqaida. 

Pada awalnya, Usamah dan para ‘pejuang’ Alqaida membantu Taliban di Afghanistan ketika berperang melawan tentara Uni Sovyet. Saat  tentara Sovyet mundur dari Afghanistan, Usamah dan Alqaida pun berubah memusuhi segala hal yang terkait dengan Barat. Mereka menilai Barat selalu membela Zionis Israel untuk menjajah bangsa Palestina. Puncaknya adalah serangan terhadap gedung kembar Word Trade Center di New York, AS, pada 11 September 2001.

Sedangkan Al Baghdadi telah mendeklarasikan berdirinya sebuah negara dengan mengangkat dirinya sendiri sebagai khalifah. Dan, tidak seperti Usamah yang berada di Afghanistan sebagai tamu alias orang asing, Al Baghdadi berkuasa di wilayah kelahirannya di Irak. Kesamaan keduanya adalah sama-sama merekrut ‘pejuang’ asing dan menghalalkan segala cara untuk sebuah tujuan, termasuk dengan teror dan cara-cara kekerasan lainnya.

Mulanya Al Baghdadi adalah perwira militer Saddam Husein. Ketika Irak dihantam AS dan sekutunya dan Saddam Husein dibunuh, Negara Seribu Satu Malam itu pun berubah dan mengawali babak baru: demokratisasi. Penganut Syiah sebagai mayoritas selalu memenangkan pemilu. Sayangnya, dalam era demokratis ini, kelompok Suni yang dulu mendukung Saddam Husin menjadi terkucilkan. Al Baghdadi bersama kelompok Suni lalu membentuk organisasi bersenjata, antara lain dengan menampung ‘pejuang’ asing Alqaida yang selamat dari Afghanistan.

Organisasi bersenjata Al Baghdadi ini sering disebut media Arab sebagai jamaah Da’isy atau Dawa’isy. Da’isy berbasis di utara Irak dan berbatasan dengan Suriah. Pada perkembangannya, untuk merebut wilayah kekuasaan, Al Baghdadi yang mengambil kepemimpinan ISIS pada 2010 bukan hanya menyerang kelompok Syiah, tapi juga kelompok-kelompok Suni lainnya di Irak dan Suriah yang berbeda pandangan dengan mereka. Intinya, semua pihak yang menghalangi perjuangan mereka dianggap sebagai musuh dan harus dilawan.

Itu sebabnya negara-negara di kawasan Timur Tengah menganggap Da’isy alias ISIS sangat berbahaya. Al Azhar di Kairo telah menfatwakan aktivitas Da’isy alias ISIS bukanlah perjuangan Islam. Islam, demikian fatwa Al Azhar, tidak boleh menghalalkan segala cara untuk sebuah tujuan. Apalagi dengan teror dan cara-cara kekerasan lainnya. Sedangkan beberapa negara Teluk, terutama Arab Saudi, telah menegaskan ISIS adalah teroris dan harus dilarang. Siapapun warga Saudi yang mendukung dan terlibat dalam ISIS akan dikenakan sanksi berat.

Sejumlah pengamat di media Timur Tengah mempertanyakan bila ISIS berjuang demi Islam, mengapa mereka tidak membantu bangsa Palestina di Gaza yang kini sedang menghadapi serangan biadab Zionis Israel?

No comments:

Post a Comment