Agama untuk perdamaian dunia? Subjek ini telah sering dibahas dalam berbagai forum nasional, regional, dan internasional, tetapi masih saja tetap relevan dikaji dan diperbincangkan. Hal ini tidak lain karena pada kenyataannya di berbagai bagian dunia masih terjadi konflik, kekerasan, terorisme, dan perang atas nama agama.
Kenyataan yang terus berlanjut ini seolah memperkuat wajah agama yang terkesan ambigu sehingga menimbulkan skeptisisme sebagian orang pada agama. Pada satu pihak, ada wajah agama yang mengajarkan perdamaian, harmoni, dan hidup berdampingan di antara umat beragama yang berbeda. Inilah sebenarnya inti dan pokok ajaran agama.
Ajaran agama seperti inilah yang dipegangi mayoritas terbesar umat beragama. Bagian terbesar umat beragama adalah orang-orang pencinta damai yang ingin mengabdikan dirinya melalui penyerahan diri sepenuhnya (submission) kepada Tuhan untuk kemaslahatan diri, keluarga, masyarakat, dan bangsanya.
Tetapi, pada pihak lain, ada wajah agama yang ditampilkan sebagian kecil penganutnya sebagai wajah yang sangar yang menampilkan ketidakrukunan, tensi, konflik, dan bahkan perang. Hal ini karena perbedaan yang ada di antara berbagai aliran dalam satu agama dan apalagi di antara agama berbeda cenderung dijadikan sebagai sumber pertikaian yang sering tidak berujung.
Memandang kedua kenyataan bertolak belakang itu, perbincangan tentang peran agama untuk perdamaian sekali lagi tetap relevan. Kelihatan atas dasar kenyataan itu pula Institute for Cultural Diplomacy (ICD) yang berpusat di Berlin, Jerman, menyelenggarakan "Madrid Symposium of Peace Building and Conflict Resolution". Diselenggarakan pada pekan ketiga Ramadhan 1435 (15-17 Juli 2014) di Madrid, Spanyol, simposium ini mengangkat subtema "The Promotion of World Peace through Interfaith Dialogue and Global Political Discourse".
Penulis Resonansi ini beruntung mendapat tugas dari Dubes RI di Madrid, Yuli Mumpuni Widarso, untuk menyampaikan keynote address dalam Simposium Madrid tersebut. Selain itu, Wakil Ketua DPD RI La Ode Ida juga menyampaikan makalah kunci dalam simposium yang diselenggarakan di kampus Nebrija Universidad Madrid.
Dari sekian banyak pembicara, salah satu yang amat penting dicatat adalah mantan perdana menteri Spanyol Jose Luis Rodriguez Zapatero. Terpilih dalam pemilu pascapengeboman di stasiun kereta api Madrid (11 Maret 2004), Zapatero memulai pembicaraannya dengan imbauan agar Israel segera menghentikan penggunaan kekerasan di Gaza.
“Uni Eropa harus memberikan tekanan terhadap Israel sehingga memungkinkan terciptanya perdamaian di antara kedua belah pihak." Selain itu, dia mengimbau agar PBB, OKI, dan juga Amerika Serikat mengusahakan perdamaian yang adil.
Zapatero menyatakan, kekerasan dan terorisme yang dilakukan kelompok radikal atas nama agama sama sekali tidak bisa diterima. Bagi dia, semua agama mengajarkan perdamaian dan karena itu, “Semua kita bertanggung jawab untuk menciptakan perdamaian. Umat Kristiani, Muslim, dan Yahudi harus sama-sama berusaha menciptakan perdamaian dengan memperkuat sikap saling menghormati dan hidup berdampingan secara damai. Dan pada saat yang sama mengisolasi orang-orang dan kelompok ekstremis."
Menurut Zapatero, agama hampir sama dengan ideologi politik yang dapat menimbulkan fanatisme dan radikalisme. “Orang-orang yang memiliki fanatisme agama memercayai bahwa hanya mereka yang memegang kebenaran; dan mereka tidak mau menerima pendapat dan kebenaran orang lain."
Di sinilah Zapatero melihat peran krusial para pemimpin agama. Mereka memainkan peran penting mengajar para pengikutnya untuk saling menghargai, menghormati nyawa manusia, menjunjung tinggi keragaman dan kebebasan beragama. Pada saat yang sama juga mengutuk segala bentuk kekerasan.
Dalam pandangan Zapatero, dialog di antara umat beragama merupakan satu-satunya cara untuk menciptakan perdamaian. Seluruh agama dan budaya harus terbuka untuk dialog. “Jika hal ini bisa diciptakan, perdamaian di Timur Tengah, misalnya, tidak lagi utopia."
Zapatero mengakui sektarianisme keagamaan yang kemudian berpadu dengan konflik politik terjadi tidak hanya di Timur Tengah, tetapi juga di kawasan lain di muka bumi ini termasuk di Eropa. Bahkan, Eropa memerlukan waktu berabad-abad untuk dapat menegakkan demokrasi dan perdamaian.
Menyambut keynote speech Zapatero, Dubes RI Yuli Mumpuni mengangkat realitas Indonesia sebagai sebuah negara yang menghormati keberagaman melalui prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Selain itu, Indonesia memiliki pengalaman panjang dalam dialog intra dan antaragama.
Merespons pernyataan Dubes Yuli Mumpuni, Zapatero yang sudah dua kali mengunjungi Indonesia menyatakan kekaguman dan respeknya pada Indonesia. Dia sangat menghargai Indonesia dengan keragamannya, kebebasan beragamanya, dan tingginya kedudukan perempuan.
“Indonesia memiliki budaya yang hebat dengan segala keragamannya. Sedangkan Eropa pada dasarnya homogen yang ternyata malah mudah mengalami fragmentasi. Padahal, masyarakatnya memeluk agama yang pada dasarnya sama," ujar Zapatero.
No comments:
Post a Comment