Pengagum paham kritikisme biasanya, tak ada niat
untuk melakukan suatu sikap tendesius apalagi meruntuhkan wibawa seseorang yg
dikritiknya. Para kritiker ini, lebih mengutarakan suatu pola pemikiran
perubahan untuk mereview kembali tindakan pemikiran seseorang yang salah atau
terlanjur extrem. Pola pikir (maindset) dan ilmu pengetahuan seseorang itu
berbeda- beda, tergantung enyaman bangku pendidikan yang sudah dimiliki. Semakin tinggi dan berprestise
pendidikan seseorang, maka lebih terkontrol dan terarah dalam menyikapi suatu
kritikan. Bagi kaum terpelajar ini, kritikan sudah menjadi lalapan sehari-hari
mereka. Tak heran mereka terlihat enjoy mengatasi hal tersebut.
Beda hal nya, dengan kalangan awam yang tak
menempuh tingkat pendidikan yang lebih tinggi lagi. Kalangan ini lebih
didominasi oleh para orangtua tempo dulu dan sebagian kalangan kecil anak muda
miskin putus sekolah. Alasan finansial dan kesempatan pendidikan menjadi faktor
tingkat prestise pendidikan mereka. 2 kaum ini adalah kaum yang merasa memarginalkan
diri dalam mengatasi kritikan seseorang. Gaya komunikasi dan Pola pikir mereka
tak berkembang, dan kebalancingan antara tingkat IQ dan ESQ mereka selalu
tumpang tindih. Terbukti sekali, ESQ mereka lebih dominan ketimbang IQ nya. Tak
heran jikalau dikritisi, tuaian sikap emosional yang over dan tak sehat
(affair) acap kali kita terima.
Pengalaman itu pun saat ini saya alami sendiri, ayah merasa kritikan saya dianggap sebagai pola pikir yang tak dapat diterima, atas apa-apa ilmu non formal diluar bangku sekolah yang telah dimilikinya. Ironisnya lagi, kritisi dicampuraduk dalam suasana kebatinan sampai memberi jarak dan jurang dalam berinteraksi normal sehari-hari dalam hidup bekeluarga. Itu sudah menjadi resiko bagi saya, karena dalam niat dan benak saya tujuan dari kritikan tersebut tidak lain orientasi substansinya adalah mendidik dan merobah maindset, tidak kepada pembiaran ketidaktahuan dan kebodohan seseorang. Sekian. Semoga bermanfaat. Jangan berhenti untuk mengkritisi orang yang anda cintai. Salam.
Pengalaman itu pun saat ini saya alami sendiri, ayah merasa kritikan saya dianggap sebagai pola pikir yang tak dapat diterima, atas apa-apa ilmu non formal diluar bangku sekolah yang telah dimilikinya. Ironisnya lagi, kritisi dicampuraduk dalam suasana kebatinan sampai memberi jarak dan jurang dalam berinteraksi normal sehari-hari dalam hidup bekeluarga. Itu sudah menjadi resiko bagi saya, karena dalam niat dan benak saya tujuan dari kritikan tersebut tidak lain orientasi substansinya adalah mendidik dan merobah maindset, tidak kepada pembiaran ketidaktahuan dan kebodohan seseorang. Sekian. Semoga bermanfaat. Jangan berhenti untuk mengkritisi orang yang anda cintai. Salam.
No comments:
Post a Comment