Thursday, 12 June 2014

Sunni dan Syiah adalah Istilah produk politik Islam.


Syiah dan Sunni itu, adalah istilah yang dikultuskan oleh penganut ummat islam sendiri. Sejatinya  pada zaman rasululloh dan dalam kitab-kitab suci terdahulu dan sekarang ini (al qur'an), tak satupun kosakata istilah sunni di cantumkan (never). Sunni tercipta serta ada istilah ini, setelah munculnya istilah Syiah. Syiah dan Sunni ini lebih tepat kita katakan sebagai istilah pahamisme politik. Sejarah membuktikan bahwa, adanya syiah dulu karena ada segolongan kaum yang mengaku keturunan khalifah ali, mereka ini adalah kaum yang fanatik kepada khalifah ali bin abi tholib. Mereka ini pada awal mula jumlahnya tidak banyak, cuma segelintir kaum yang masih ada kekerabatan dekat dengan khalifah ali bin abi tholib. Pada zaman khalifah ustman ibnu affan berkuasa, beliau memang terkenal akan sikap nepotismenya dalam memimpin. Dimasa khalifah ustman ini, kasat mata muncul ketimpangan-ketimpangan yang kentara menimbulkan pergesekan kepentingan. Itulah salahsatu kelemahan sang khalifah. Bukti nepotismenya sang khalifah adalah diangkatnya MUAWIYAH sebagai gubernur di negeri Syam. Pada zaman khalifah abu bakar dan ummar, sikap nepotisme ini tak ada sama sekali diterapkan oleh kedua khalifah ini. Makanya tak ada pergesekan dan pergolakan politik di masa kedua khalifah tersebut memimpin. Nasib malang pun terjadi terhadap khalifah ustman bin affan, beliau dibunuh oleh salahsatu karib kerabat dari kaum fanatik terhadap khalifah ali. Ada juga yang mengatakan salahsatu ummat yahudi yang berpura-pura masuk islam. Tapi, saya lebih condong kepada pendapat pertama. Karena alibi sejarah dari pendapat kedua tak logis dan terkesan ada missing link serta propaganda tertentu untuk memojokkan ummat tertentu. Yahudi tak ada campur tangannya dalam urusan pembunuhan khalifah ustman tersebut. Harus ada penelitian lebih lanjut dan komprehensif apabila indikasi itu ada. Secara logika dan fakta sejarah, khalifah ustman dibunuh bukan karena keadilannya memimpin, harus diakui khalifah ustman selama memimpin beliau lebih condong ke pihak keluarga (NEPOTISME), Muawiyah adalah generasi penerus selanjutnya setelah ke 4 khalifah tiada. Namun, muawiyah tidak dicatat dalam sejarah sebagai khalifah, beliau hanya dinobatkan dan dibaiat sebagai RAJA (MONARKI). Yazid bin muawiyah adalah pengganti beliau, ini bukti bahwasannya sistem kekhalifahan tersebut telah terputus dimasa khalifah ali wafat. Muawiyah dan keturunannya adalah generasi bertahtakan kerajaan (monarki) tak heran masa itu dikatakan masa kejayaan kerajaan islam, atau lebih dikenal dengan istilah DINASTY !!!!
Kabar terbunuhnya khalifah ustman terdengar di negeri syam, gubernur syam muawiyah mengecek kebenaran informasi tersebut. Setelah mengetahui kebenaran terbunuhnya khalifah utsman tersebut, Muawiyah menuntut hukum hudud yaitu Qisash kepada si pelaku pembunuh khalifah. Wajar, hal ini dilakukan oleh muawiyah, karena beliau adalah salahsatu keluarga terdekat khalifah utsman ibnu affan. Hukum hudud dituntut oleh muawiyah kepada khalifah ali, tak lama setelah wafatnya khalifah utsman tersebut, posisi kekhalifan langsung diangkat dan dinobatkan untuk ali ibnu abi tholib sepihak. Khalifah ali menolak hukum hudud tersebut, karena secara hukum islam dan pemerintahan islam yang bisa melaksanakan hukum hudud tersebut hanyalah khalifah saja. Muawiyah dalam dilema, beliau disatu sisi menginginkan penegakkan hukum qisash dilakukan buat pelaku, namun disisi lain muawiyah tak mau membaiat ali ibnu abi tholib sebagai khalifah pada waktu itu. Disinilah konstelasi dan kontestasi kedua sahabat nabi ini di uji dan meruncing. Khalifah ali mau menegakkan hukum hudud qisash apabila kekhalifahannya diakui oleh muawiyah, sementara muawiyah tak mengakui itu. Terang benderang lah alibi sejarah yang terjadi pada masa itu. Tak ada kesepakatan dan titik damai, maka perang pun tak terelakkan dan tercipta juga !
Sejatinya posisi kekhalifahan pada waktu itu patut disematkan buat paman nabi yaitu abbas ibnu abdul mutholib. Meskipun tertunda pada masa kekhalifahan ali, tapi keturunan dari paman nabi tersebut mampu mendirikan dinasti abbasiyah nya, setelah dinasti umayyah hancur dalam peperangan. Abbas ibnu abdul mutholib lebih memilih mengalah kepada ponakannya khalifah ali ibnu abi tholib. Abbas sadar keponakannya lah yang lebih berhak untuk menyandang gelar kekhalifahan ke 4 tersebut. Abbas loyal kepada keponakannya tersebut dan amat sayang dan menghargai beliau. Abbas sadar bahwa ali ibnu abi tholib lah yang banyak berjuang sewaktu nabi dikota mekkah. Abbas tahu ali lah pemuda pertama yang masuk islam dikalangan keluarga mereka. Faktor inilah makanya sang paman lebih memilih mengalah kepada keponakannya tersebut.
Perang pun terjadi antara muawiyah dan khalifah ali, karena tak adanya kesepahaman dan kesepakatan dari masing-masing pihak. Perang yang melibatkan masing-masing kaum dan karib kerabat terdekat ini, adalah merupakan sebuah aib bagi ke dua sahabat nabi ini, maka tak heran ada pernyataan para ulama yang menganggap perang antara kedua kubu ini sungguh tak perlu untuk di blowup dan tak perlu di persalahkan antara salahsatu dari mereka. Para ulama tersebut menganggap kedua sosok tersebut adalah sahabat nabi yang tak pernah cacat amalan dan perbuatannya. Namun, faktanya dalam perang tersebut mereka membuat cacat dan aib tersendiri. Tapi, kalau boleh saya memvonis, kesalahan terfatal ada pada MUAWIYAH dan Solusi terdekat ada ditangan MUAWIYAH pula. Semuanya tergantung kepada Muawiyah bukan khalifah ali ibnu abi tholib. Bagaimana mungkin permintaan muawiyah untuk menegakkan hukum qisash terlaksana, sementara muawiyah sendiri tak menginginkan ali sebagai khalifah ??? Sekian. Semoga bermanfaat.

No comments:

Post a Comment