Syiah dan Sunni itu, adalah
istilah yang dikultuskan oleh penganut ummat islam sendiri. Sejatinya pada zaman rasululloh dan dalam kitab-kitab
suci terdahulu dan sekarang ini (al qur'an), tak satupun kosakata istilah sunni
di cantumkan (never). Sunni tercipta serta ada istilah ini, setelah munculnya
istilah Syiah. Syiah dan Sunni ini lebih tepat kita katakan sebagai istilah
pahamisme politik. Sejarah membuktikan
bahwa, adanya syiah dulu karena ada segolongan kaum yang mengaku keturunan
khalifah ali, mereka ini adalah kaum yang fanatik kepada khalifah ali bin abi
tholib. Mereka ini pada awal mula jumlahnya tidak banyak, cuma segelintir kaum
yang masih ada kekerabatan dekat dengan khalifah ali bin abi tholib.
Pada zaman khalifah ustman ibnu affan berkuasa,
beliau memang terkenal akan sikap nepotismenya dalam memimpin. Dimasa khalifah
ustman ini, kasat mata muncul ketimpangan-ketimpangan yang kentara menimbulkan
pergesekan kepentingan. Itulah salahsatu kelemahan sang khalifah. Bukti
nepotismenya sang khalifah adalah diangkatnya MUAWIYAH sebagai gubernur di
negeri Syam. Pada zaman khalifah abu bakar dan ummar, sikap nepotisme ini tak
ada sama sekali diterapkan oleh kedua khalifah ini. Makanya tak ada pergesekan
dan pergolakan politik di masa kedua khalifah tersebut memimpin. Nasib malang pun terjadi terhadap khalifah ustman
bin affan, beliau dibunuh oleh salahsatu karib kerabat dari kaum fanatik
terhadap khalifah ali. Ada juga yang mengatakan salahsatu ummat yahudi yang
berpura-pura masuk islam. Tapi, saya lebih condong kepada pendapat pertama.
Karena alibi sejarah dari pendapat kedua tak logis dan terkesan ada missing
link serta propaganda tertentu untuk memojokkan ummat tertentu. Yahudi tak ada
campur tangannya dalam urusan pembunuhan khalifah ustman tersebut. Harus ada
penelitian lebih lanjut dan komprehensif apabila indikasi itu ada. Secara logika dan fakta sejarah, khalifah ustman
dibunuh bukan karena keadilannya memimpin, harus diakui khalifah ustman selama
memimpin beliau lebih condong ke pihak keluarga (NEPOTISME), Muawiyah adalah
generasi penerus selanjutnya setelah ke 4 khalifah tiada. Namun, muawiyah tidak
dicatat dalam sejarah sebagai khalifah, beliau hanya dinobatkan dan dibaiat
sebagai RAJA (MONARKI). Yazid bin muawiyah adalah pengganti beliau, ini bukti
bahwasannya sistem kekhalifahan tersebut telah terputus dimasa khalifah ali
wafat. Muawiyah dan keturunannya adalah generasi bertahtakan kerajaan (monarki)
tak heran masa itu dikatakan masa kejayaan kerajaan islam, atau lebih dikenal
dengan istilah DINASTY !!!!
Kabar terbunuhnya khalifah ustman
terdengar di negeri syam, gubernur syam muawiyah mengecek kebenaran informasi
tersebut. Setelah mengetahui kebenaran terbunuhnya khalifah utsman tersebut,
Muawiyah menuntut hukum hudud yaitu Qisash kepada si pelaku pembunuh khalifah.
Wajar, hal ini dilakukan oleh muawiyah, karena beliau adalah salahsatu keluarga
terdekat khalifah utsman ibnu affan. Hukum hudud dituntut oleh muawiyah kepada
khalifah ali, tak lama setelah wafatnya khalifah utsman tersebut, posisi
kekhalifan langsung diangkat dan dinobatkan untuk ali ibnu abi tholib sepihak.
Khalifah ali menolak hukum hudud tersebut, karena
secara hukum islam dan pemerintahan islam yang bisa melaksanakan hukum hudud
tersebut hanyalah khalifah saja. Muawiyah dalam dilema, beliau disatu sisi
menginginkan penegakkan hukum qisash dilakukan buat pelaku, namun disisi lain
muawiyah tak mau membaiat ali ibnu abi tholib sebagai khalifah pada waktu itu.
Disinilah konstelasi dan kontestasi kedua sahabat nabi ini di uji dan meruncing.
Khalifah ali mau menegakkan hukum hudud qisash apabila kekhalifahannya diakui
oleh muawiyah, sementara muawiyah tak mengakui itu. Terang benderang lah alibi
sejarah yang terjadi pada masa itu. Tak ada kesepakatan dan titik damai, maka
perang pun tak terelakkan dan tercipta juga !
Sejatinya posisi kekhalifahan pada
waktu itu patut disematkan buat paman nabi yaitu abbas ibnu abdul mutholib.
Meskipun tertunda pada masa kekhalifahan ali, tapi keturunan dari paman nabi
tersebut mampu mendirikan dinasti abbasiyah nya, setelah dinasti umayyah hancur
dalam peperangan.
Abbas ibnu abdul mutholib lebih memilih mengalah kepada
ponakannya khalifah ali ibnu abi tholib. Abbas sadar keponakannya lah yang lebih berhak untuk menyandang gelar
kekhalifahan ke 4 tersebut. Abbas loyal kepada keponakannya tersebut dan amat
sayang dan menghargai beliau. Abbas sadar bahwa ali ibnu abi tholib lah yang
banyak berjuang sewaktu nabi dikota mekkah. Abbas tahu ali lah pemuda pertama
yang masuk islam dikalangan keluarga mereka. Faktor inilah makanya sang paman
lebih memilih mengalah kepada keponakannya tersebut.
Perang pun terjadi antara muawiyah dan khalifah ali, karena tak adanya
kesepahaman dan kesepakatan dari masing-masing pihak. Perang yang melibatkan
masing-masing kaum dan karib kerabat terdekat ini, adalah merupakan sebuah aib
bagi ke dua sahabat nabi ini, maka tak heran ada pernyataan para ulama yang
menganggap perang antara kedua kubu ini sungguh tak perlu untuk di blowup dan
tak perlu di persalahkan antara salahsatu dari mereka. Para ulama tersebut
menganggap kedua sosok tersebut adalah sahabat nabi yang tak pernah cacat
amalan dan perbuatannya. Namun, faktanya dalam perang tersebut mereka membuat
cacat dan aib tersendiri. Tapi, kalau boleh saya memvonis, kesalahan terfatal
ada pada MUAWIYAH dan Solusi terdekat ada ditangan MUAWIYAH pula. Semuanya
tergantung kepada Muawiyah bukan khalifah ali ibnu abi tholib. Bagaimana
mungkin permintaan muawiyah untuk menegakkan hukum qisash terlaksana, sementara
muawiyah sendiri tak menginginkan ali sebagai khalifah ??? Sekian. Semoga
bermanfaat.
No comments:
Post a Comment