Kalau boleh lah dikatakan,
sebahagian Ustadz yang bernaung di Departemen Agama (DEPAG) RI ini, status
mereka keblinger dalam menetapkan penentuan awal Ramadhan dan awal Iedul fitri
yang berusaha menguraikan ilmu Falak sesuai dengan perkataan Rasululloh via
hadist sahihnya. Ironisnya lagi makna hadist yang sudah jelas seakan-akan ingin
disingkap tabir ilmu falak yang terdapat dalam hadist rasululloh tersebut,
makanya tak heran terkesan PARADOKSITISME (bertentangan) dan timbul dualisme
dalam penetapan awal bulan ramadhan setiap tahunnya. Sedikit coba untuk diulas
prosedural baku tahapan-tahapan penetapan awal bulan ramadhan berdasarkan
kriteria perkataan rasululloh :
1. Ru'yatul Hilal (melihat bulan, maksudnya disini adalah penglihatan dengan indera mata tanpa perantaraan satu teknologi pun). Andaipun nabi hidup dizaman teknologi canggih saat ini sekalipun, bisa jadi nabi enggan untuk menyulitkan ummatnya. Penentuan awal ramadhan itu adalah simpel, mudah, efisien dan praktis. Bukan kebalikannya, mahal, bertele-tele dan tidak praktis sama sekali, malah terkesan sengaja berbeda-beda (Dualisme). Logikanya : Jikalau dulu zaman baholak dimasa nabi tak ada teknologi kenapa dengan melihat indera mata telanjang saja mereka mampu untuk serentak dalam menentukan awal ramadhan ? padahal dizaman yang super sata dan teknologi allien saat ini katanya, terdapat dualisme penentuan hilal ? Teknologi teropongnya sama, mereknya sama, produksinya pun sama, seharusnya satu pendapat dong ? Masa’ iya kalah sama zaman baholak, yang cuma handalin mata telanjang saja bisa sama awal ramadhannya. Apa gak paradoks tuh logikanya ?
2. Hisab (Metoda hitungan). Metoda kedua ini adalah solusi yang amat sangat dipermudah oleh rasululloh disaat hilal tak bisa dilihat dengan mata telanjang, ada suatu penghalang yang menyebabkan Hilal (bulan) tersebut tak tampak dilangit, bisa jadi karena faktor cuaca, atau awan mendung yang menyelimuti Hilal itu atau bisa jadi juga memang tanda-tanda hilal itu sendiri tak terlihat jelas dilangit. Lalu diberilah alternatif termudah bagi ummatnya yaitu dengan perhitungan bulan (Hisab).
Pelajaran yang dapat dipetik dari awal penentuan ramadhan ini adalah, seakan-akan nabi ingin memberikan suatu pelajaran bermakna kepada ummatnya bahwasannya, urusan penentuan awal ramadhan itu bukanlah berlomba-lomba untuk mengetahui secara detail dibalik kebenaran tampaknya Ru’yatul Hilal dalam kajian ilmu falak (bumi, bulan dan matahari). Kalau waktu sholat saja bisa dikonversi kedalam waktu digital (jam) yang semula dizaman baholak masa nabi saja, tak ada teknologi waktu digital (arloji), lantas kenapa ini para ulama dan ustadz dinegara ini diperbodoh dengan teknologi teropong tersebut? Waktu sholat yang semula ditetapkan memakai metoda ketinggian dan bayangan dari matahari, kok tiba-tiba saja bisa diadopsi dengan langgeng tanpa masalah sedikitpun dengan mengkonversi ke teknologi digital (arloji/jam). Bukankah teknologi itu bertujuan untuk mempermudah kita bukan sebaliknya mempersulit dan membuat runyam pemikiran yang ujung-ujungnya tercipta dualisme.
1. Ru'yatul Hilal (melihat bulan, maksudnya disini adalah penglihatan dengan indera mata tanpa perantaraan satu teknologi pun). Andaipun nabi hidup dizaman teknologi canggih saat ini sekalipun, bisa jadi nabi enggan untuk menyulitkan ummatnya. Penentuan awal ramadhan itu adalah simpel, mudah, efisien dan praktis. Bukan kebalikannya, mahal, bertele-tele dan tidak praktis sama sekali, malah terkesan sengaja berbeda-beda (Dualisme). Logikanya : Jikalau dulu zaman baholak dimasa nabi tak ada teknologi kenapa dengan melihat indera mata telanjang saja mereka mampu untuk serentak dalam menentukan awal ramadhan ? padahal dizaman yang super sata dan teknologi allien saat ini katanya, terdapat dualisme penentuan hilal ? Teknologi teropongnya sama, mereknya sama, produksinya pun sama, seharusnya satu pendapat dong ? Masa’ iya kalah sama zaman baholak, yang cuma handalin mata telanjang saja bisa sama awal ramadhannya. Apa gak paradoks tuh logikanya ?
2. Hisab (Metoda hitungan). Metoda kedua ini adalah solusi yang amat sangat dipermudah oleh rasululloh disaat hilal tak bisa dilihat dengan mata telanjang, ada suatu penghalang yang menyebabkan Hilal (bulan) tersebut tak tampak dilangit, bisa jadi karena faktor cuaca, atau awan mendung yang menyelimuti Hilal itu atau bisa jadi juga memang tanda-tanda hilal itu sendiri tak terlihat jelas dilangit. Lalu diberilah alternatif termudah bagi ummatnya yaitu dengan perhitungan bulan (Hisab).
Pelajaran yang dapat dipetik dari awal penentuan ramadhan ini adalah, seakan-akan nabi ingin memberikan suatu pelajaran bermakna kepada ummatnya bahwasannya, urusan penentuan awal ramadhan itu bukanlah berlomba-lomba untuk mengetahui secara detail dibalik kebenaran tampaknya Ru’yatul Hilal dalam kajian ilmu falak (bumi, bulan dan matahari). Kalau waktu sholat saja bisa dikonversi kedalam waktu digital (jam) yang semula dizaman baholak masa nabi saja, tak ada teknologi waktu digital (arloji), lantas kenapa ini para ulama dan ustadz dinegara ini diperbodoh dengan teknologi teropong tersebut? Waktu sholat yang semula ditetapkan memakai metoda ketinggian dan bayangan dari matahari, kok tiba-tiba saja bisa diadopsi dengan langgeng tanpa masalah sedikitpun dengan mengkonversi ke teknologi digital (arloji/jam). Bukankah teknologi itu bertujuan untuk mempermudah kita bukan sebaliknya mempersulit dan membuat runyam pemikiran yang ujung-ujungnya tercipta dualisme.
Ilmu falak itu adalah ilmu pasti dan termasuk bagian dari sub ilmu logis.
Mari kita ambil satu analogi saja agar bisa diserap apa makna tersirat perkataan
rasululloh tentang kriteria mengenai ru'yatul hilal dan Hisab.
Analogi logikanya seperti sebagai berikut :
Hilal adalah Bulan maka kita analogikan sebagai B. dan Hisap adalah Hitungan maka kita analogikan sebagai H. Selanjutnya awal Ramadhan kita analogikan sebagai R. Asumsinya adalah : Seseorang mencari tahu keberadaan Si R dengan mengetahui dulu keberadaan si B atau si H. maka uraian analoginya seperti berikut ini :
* Si R adalah target penentuan akhir pencarian objek.
Apabila seseorang mencari si B dan ternyata si B ada dan tampak jelas maka Si H tak diperlukan lagi keberadaannya (peranan si H pupus). Alamat dari keterangan si B lah maka Diketemukan si R.
Tapi, lain halnya dengan seseorang yang mencari si B lalu si B tersembunyi (tak tampak), sementara si H tampak jelas dimata kita keberadaannya maka peranan si H sangat kita butuhkan, dan keberadaan Si B tak perlu repot lagi kita cari-cari sampai ketemu, padahal dengan keterangan si H saja kita mampu menemukan si R. Bukankah begitu ? Simple bukan analogi ilmu falaknya, irit tanpa biaya, tanpa mengeluarkan dana sepeserpun.
Analogi logikanya seperti sebagai berikut :
Hilal adalah Bulan maka kita analogikan sebagai B. dan Hisap adalah Hitungan maka kita analogikan sebagai H. Selanjutnya awal Ramadhan kita analogikan sebagai R. Asumsinya adalah : Seseorang mencari tahu keberadaan Si R dengan mengetahui dulu keberadaan si B atau si H. maka uraian analoginya seperti berikut ini :
* Si R adalah target penentuan akhir pencarian objek.
Apabila seseorang mencari si B dan ternyata si B ada dan tampak jelas maka Si H tak diperlukan lagi keberadaannya (peranan si H pupus). Alamat dari keterangan si B lah maka Diketemukan si R.
Tapi, lain halnya dengan seseorang yang mencari si B lalu si B tersembunyi (tak tampak), sementara si H tampak jelas dimata kita keberadaannya maka peranan si H sangat kita butuhkan, dan keberadaan Si B tak perlu repot lagi kita cari-cari sampai ketemu, padahal dengan keterangan si H saja kita mampu menemukan si R. Bukankah begitu ? Simple bukan analogi ilmu falaknya, irit tanpa biaya, tanpa mengeluarkan dana sepeserpun.
Sekian, semoga bermanfaat.
No comments:
Post a Comment