Bermula dari rencana Pemda Jawa Tengah untuk membeli
bangunan hotel atau Balai Peristirahatan Maliyawan yang terletak di
Tawangmangu, Solo. Bangunan hotel itu, meski tanahnya adalah milik Pemda Jawa
Tengah, namun bangunan di atas tanah tersebut adalah aset milik Pemda Solo,
karena dibangun dengan biaya pemda melalui anggaran APBD Solo sekitar 12 tahun
lalu.
Namun, rencana Pemda Jateng membeli bangunan hotel
aset Pemda Solo kandas karena Walikota Solo, Joko Widodo tidak pernah
menyetujui. Jokowi selalu menolak permohonan Pemda Jateng tanpa alasan yang
jelas. Padahal sebagai unit usaha yang dikelola BUMD PT Citra Mandiri Jateng,
Hotel Maliyawan tidak menguntungkan dan gagal beri deviden kepada Pemda Solo
dan Pemda Jateng.
Karena permintaan membeli bangunan hotel selalu
ditolak Walikota Jokowi, Pemda Jateng balik berencana ingin menjual aset Pemda
Jawa Tengah berupa tanah yang di atasnya berdiri bangunan yang dipergunakan
sebagai Hotel Maliyawan yang dikelola oleh BUMD PT. Citra Mandiri Jawa Tengah (CMJT)
itu.
Rencana Pemda Jateng menjual tanah hotel tersebut
melalui BUMN CMJT secara langsung, terbuka dan lelang tentu tidak mudah karena
bangunan hotel yang berada di atas tanah itu adalah milik atau aset Pemda Solo.
Pilihan terbaik adalah dengan menawarkan rencana penjualan atau pelepasan tanah
aset Pemda Jateng itu kepada Pemda Surakarta.
Nanti, setelah Pemda Surakarta membeli tanah aset
Pemda Jateng tersebut, terserah kepada Pemda Surakarta, apakah akan menjual
kembali tanah berikut bangunan hotelnya atau mau mengelola sendiri operasional
Hotel Maliyawan itu.
Terhadap tawaran Pemda Jateng yang ingin jual tanah
asetnya itu, Walikota Solo langsung menyatakan minatnya dan segera mengajukan
rencana anggaran pembelian tanah Hotel Maliyawan sebesar Rp. 4 miliar kepada
DPRD Solo. Pengajuan anggaran itu kemudian disetujui DPRD dengan rencana
memasukan anggaran pembelian tanah aset Pemda Jateng dalam Kebijakan Umum
Perubahan APBD (KUPA) Surakarta tahun 2010.
Melalui Nota Jawaban Walikota yang dibacakan oleh Sekretaris
Daerah (Sekda) Kota Solo, Budi Suharto, Senin, Walikota Solo, Joko Widodo
(Jokowi), dijelaskan Pemerintah Kota Solo telah menindaklanjuti Laporan
Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Tahun 2010 dengan menganggarkan pembelian
tanah Hotel Maliyawan senilai Rp 4. miliar.
Tetapi belakangan, berdasarkan Nota Kesepakatan Pemkot
Solo dengan DPRD Kota Solo No 910/3.314 dan No 910/1/617 tentang Kebijakan Umum
Perubahan APBD (KUPA) Kota Solo Tahun 2010, anggaran untuk pengadaan tanah
Hotel Maliyawan ternyata tidak muncul sama sekali. Mata anggaran untuk rencana
pembelian tanah hotel Maliyawan hilang atau dihapus dari APBD Solo.
Kemudian diketahui bahwa Walikota Solo telah
mengajukan surat kepada Inspektorat Kota Solo. Surat itu berisi perintah
Walikota untuk menelaah/mengkaji aspek hukum dan perundang-undangan terkait
rencana Pemda Solo melepas aset berupa bangunan yang terletak di atas tanah
Hotel Maliyawan, Tawangmangu, Surakarta.
Terhadap surat walikota, Inspektorat Kota menberikan
jawaban atas telaah dan kajian hukumnya kepada Walikota Joko Widodo. Dalam
suratnya, Inspektorat menegaskan bahwa untuk rencana pemindahtanganan aset
bangunan milik Pemda (Hotel Maliyawan) terlebih dahulu harus dilakukan
penaksiran oleh tim penilai, yang kemudian rekomendasi hasil penilaiannya harus
ditetapkan dengan surat keputusan Walikota.
Selanjutnya Walikota harus mengajukan permohonan izin
penghapusan aset kepada DPRD Kota Solo. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan PP
No 6/2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, pasal 37 serta Perda
No 8/2008 Tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah.
Berdasarkan surat jawaban Inspektorat, Walikota Joko
Widodo mengirim surat kepada Ketua DPRD Kota Solo tertanggal 29 Juli 2011
perihal permohonan persetujuan pemindahtanganan atas nama Balai Istirahat (BI)
Maliyawan.
Pada paragraf kedua surat tersebut, Jokowi menyebutkan
bahwa sesuai dengan pasal 64 ayat 1 Perda 8/2008 Tentang Pengelolaan Barang
Milik Daerah, pemindahtanganan atas bangunan dapat dilakukan setelah mendapat
persetujuan dari DPRD.
Masih mengacu kepada surat dari Walikota Joko Widodo
itu, disebut lagi bahwa sehubungan dengan Perda tersebut maka diajukan
permohonan persetujuan DPRD dan selanjutnya dapat dibahas dalam rapat Dewan.
Surat tersebut merupakan tindak lanjut dari surat Inspektorat Kota pada tanggal
16 Desember 2010 tentang telaah staf pelepasan Hotel Maliyawan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, sangat jelas
bahwa pada awalnya, Walikota Solo Joko Widodo masih menjalankan mekanisme dan
prosedur pelepasan aset secara benar dan berdasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Namun belakangan, diketahui Walikota Joko Widodo sudah
menjual tanah hotel Maliyawan yang merupakan aset Pemda Solo secara diam – diam
kepada Lukminto, Direktur Utama PT. Sritex, tanpa berdasarkan prosedur dan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Walikota Solo menjual aset pemda tanpa berdasarkan persetujuan dari DPRD dan Menteri Dalam Negeri
- Walikota Solo tidak melakukan lelang terbuka
- Harga penjualan tidak diketahui sama sekali
- Diduga telah terjadi suap dari si pembeli yakni Lukminto kepada Jokowi, walikota Solo.
(Hotel Maliyawan yang dijual Jokowi
secara melanggar hukum)
Setelah penjualan hotel Maliyawan terjadi, sikap,
perilaku dan pernyataan – pernyataan Joko Widodo berubah 180 derajat. Jokowi
berusaha menutupi pelanggaran hukum dan dugaan KKN dengan segala cara.
Kenapa terjadi perubahaan sikap, perilaku dan
pernyataan Joko Widodo terkait penjualan aset Pemda Solo secara diam-diam
kepada Lukminto ?
Kenapa tiba-tiba Joko Widodo ngotot pertahankan
pernyataan dan pendapatnya bahwa penjualan bangunan hotel aset Pemda itu TIDAK
memerlukan persetujuan DPRD Solo dan TIDAK perlu mengacu serta mematuhi
peraturan perundang-undangan yang berlaku ?
Berkali – kali Joko Widodo mengatakan kepada publik
bahwa sebagai walikota, pihaknya tidak perlu minta izin persetujuan kepada
DPRD.
Tidak perlu dengan penerbitan Peraturan Daerah / Perda
terlebih dahulu jika pemda ingin menjual aset. Bahkan Jokowi mengatakan pelepasan
aset pemda secara tanpa minta persetujuan DPRD terlebih dahulu itu, sudah
sangat sering dilakukannya. Anehnya, semua tindakan Jokowi yang melanggar
prosedur dan hukum itu aman – aman saja, tanpa ada pengusutan dan penindakan
tegas dari aparat hukum.
Mencermati perubahan sikap Joko Widodo dan
kengototannya menabrak hukum itu, patut diduga telah terjadi kolusi antara
Jokowi dan Lukminto (pembeli). Dan patut diduga ada suap dari Lukmimto untuk
Joko Widodo.
Berapa besar dugaan suap dari Lukminto kepada Joko
Widodo sehingga Joko berani melanggar hukum, UU dan menipu DPRD dan rakyat Solo
serta seluruh rakyat Indonesia itu ?
Berapa besar kerugian negara akibat KKN Jokowi –
Lukminto harus dibuktikan oleh polri, kejaksaan atau KPK.
KPK, Kejaksaan dan Polri harus mengusut tuntas agar
hukum dapat ditegakkan dan keadilan dapat terwujud. Sikap toleran dan pembiaran
terhadap perbuatan kriminal, kejahatan atau korupsi Jokowi ini, sesungguhnya
sama saja dengan kita menyetujui KKN sebagai perbuatan sah dan legal.
No comments:
Post a Comment