Saturday, 7 June 2014

Jejak Korupsi Joko Widodo Pada Penjualan Hotel Maliyawan


Bermula dari rencana Pemda Jawa Tengah untuk membeli bangunan hotel atau Balai Peristirahatan Maliyawan yang terletak di Tawangmangu, Solo. Bangunan hotel itu, meski tanahnya adalah milik Pemda Jawa Tengah, namun bangunan di atas tanah tersebut adalah aset milik Pemda Solo, karena dibangun dengan biaya pemda melalui anggaran APBD Solo sekitar 12 tahun lalu.
Namun, rencana Pemda Jateng membeli bangunan hotel aset Pemda Solo kandas karena Walikota Solo, Joko Widodo tidak pernah menyetujui. Jokowi selalu menolak permohonan Pemda Jateng tanpa alasan yang jelas. Padahal sebagai unit usaha yang dikelola BUMD PT Citra Mandiri Jateng, Hotel Maliyawan tidak menguntungkan dan gagal beri deviden kepada Pemda Solo dan Pemda Jateng.
Karena permintaan membeli bangunan hotel selalu ditolak Walikota Jokowi, Pemda Jateng balik berencana ingin menjual aset Pemda Jawa Tengah berupa tanah yang di atasnya berdiri bangunan yang dipergunakan sebagai Hotel Maliyawan yang dikelola oleh BUMD PT. Citra Mandiri Jawa Tengah (CMJT) itu.
Rencana Pemda Jateng menjual tanah hotel tersebut melalui BUMN CMJT secara langsung, terbuka dan lelang tentu tidak mudah karena bangunan hotel yang berada di atas tanah itu adalah milik atau aset Pemda Solo. Pilihan terbaik adalah dengan menawarkan rencana penjualan atau pelepasan tanah aset Pemda Jateng itu kepada Pemda Surakarta.
Nanti, setelah Pemda Surakarta membeli tanah aset Pemda Jateng tersebut, terserah kepada Pemda Surakarta, apakah akan menjual kembali tanah berikut bangunan hotelnya atau mau mengelola sendiri operasional Hotel Maliyawan itu.
Terhadap tawaran Pemda Jateng yang ingin jual tanah asetnya itu, Walikota Solo langsung menyatakan minatnya dan segera mengajukan rencana anggaran pembelian tanah Hotel Maliyawan sebesar Rp. 4 miliar kepada DPRD Solo. Pengajuan anggaran itu kemudian disetujui DPRD dengan rencana memasukan anggaran pembelian tanah aset Pemda Jateng dalam Kebijakan Umum Perubahan APBD (KUPA) Surakarta tahun 2010.
Melalui Nota Jawaban Walikota yang dibacakan oleh Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Solo, Budi Suharto, Senin, Walikota Solo, Joko Widodo (Jokowi), dijelaskan Pemerintah Kota Solo telah menindaklanjuti Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Tahun 2010 dengan menganggarkan pembelian tanah Hotel Maliyawan senilai Rp 4. miliar.
Tetapi belakangan, berdasarkan Nota Kesepakatan Pemkot Solo dengan DPRD Kota Solo No 910/3.314 dan No 910/1/617 tentang Kebijakan Umum Perubahan APBD (KUPA) Kota Solo Tahun 2010, anggaran untuk pengadaan tanah Hotel Maliyawan ternyata tidak muncul sama sekali. Mata anggaran untuk rencana pembelian tanah hotel Maliyawan hilang atau dihapus dari APBD Solo.
Kemudian diketahui bahwa Walikota Solo telah mengajukan surat kepada Inspektorat Kota Solo. Surat itu berisi perintah Walikota untuk menelaah/mengkaji aspek hukum dan perundang-undangan terkait rencana Pemda Solo melepas aset berupa bangunan yang terletak di atas tanah Hotel Maliyawan, Tawangmangu, Surakarta.
Terhadap surat walikota, Inspektorat Kota menberikan jawaban atas telaah dan kajian hukumnya kepada Walikota Joko Widodo. Dalam suratnya, Inspektorat menegaskan bahwa untuk rencana pemindahtanganan aset bangunan milik Pemda (Hotel Maliyawan) terlebih dahulu harus dilakukan penaksiran oleh tim penilai, yang kemudian rekomendasi hasil penilaiannya harus ditetapkan dengan surat keputusan Walikota.
Selanjutnya Walikota harus mengajukan permohonan izin penghapusan aset kepada DPRD Kota Solo. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan PP No 6/2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, pasal 37 serta Perda No 8/2008 Tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah.
Berdasarkan surat jawaban Inspektorat, Walikota Joko Widodo mengirim surat kepada Ketua DPRD Kota Solo tertanggal 29 Juli 2011 perihal permohonan persetujuan pemindahtanganan atas nama Balai Istirahat (BI) Maliyawan.
Pada paragraf kedua surat tersebut, Jokowi menyebutkan bahwa sesuai dengan pasal 64 ayat 1 Perda 8/2008 Tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah, pemindahtanganan atas bangunan dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan dari DPRD.
Masih mengacu kepada surat dari Walikota Joko Widodo itu, disebut lagi bahwa sehubungan dengan Perda tersebut maka diajukan permohonan persetujuan DPRD dan selanjutnya dapat dibahas dalam rapat Dewan. Surat tersebut merupakan tindak lanjut dari surat Inspektorat Kota pada tanggal 16 Desember 2010 tentang telaah staf pelepasan Hotel Maliyawan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, sangat jelas bahwa pada awalnya, Walikota Solo Joko Widodo masih menjalankan mekanisme dan prosedur pelepasan aset secara benar dan berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Namun belakangan, diketahui Walikota Joko Widodo sudah menjual tanah hotel Maliyawan yang merupakan aset Pemda Solo secara diam – diam kepada Lukminto, Direktur Utama PT. Sritex, tanpa berdasarkan prosedur dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  1. Walikota Solo menjual aset pemda tanpa berdasarkan persetujuan dari DPRD dan Menteri Dalam Negeri
  2. Walikota Solo tidak melakukan lelang terbuka
  3. Harga penjualan tidak diketahui sama sekali
  4. Diduga telah terjadi suap dari si pembeli yakni Lukminto kepada Jokowi, walikota Solo.

 
(Hotel Maliyawan yang dijual Jokowi secara melanggar hukum)
Setelah penjualan hotel Maliyawan terjadi, sikap, perilaku dan pernyataan – pernyataan Joko Widodo berubah 180 derajat. Jokowi berusaha menutupi pelanggaran hukum dan dugaan KKN dengan segala cara.
Kenapa terjadi perubahaan sikap, perilaku dan pernyataan Joko Widodo terkait penjualan aset Pemda Solo secara diam-diam kepada Lukminto ?
Kenapa tiba-tiba Joko Widodo ngotot pertahankan pernyataan dan pendapatnya bahwa penjualan bangunan hotel aset Pemda itu TIDAK memerlukan persetujuan DPRD Solo dan TIDAK perlu mengacu serta mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku ?
Berkali – kali Joko Widodo mengatakan kepada publik bahwa sebagai walikota, pihaknya tidak perlu minta izin persetujuan kepada DPRD.
Tidak perlu dengan penerbitan Peraturan Daerah / Perda terlebih dahulu jika pemda ingin menjual aset. Bahkan Jokowi mengatakan pelepasan aset pemda secara tanpa minta persetujuan DPRD terlebih dahulu itu, sudah sangat sering dilakukannya. Anehnya, semua tindakan Jokowi yang melanggar prosedur dan hukum itu aman – aman saja, tanpa ada pengusutan dan penindakan tegas dari aparat hukum.
Mencermati perubahan sikap Joko Widodo dan kengototannya menabrak hukum itu, patut diduga telah terjadi kolusi antara Jokowi dan Lukminto (pembeli). Dan patut diduga ada suap dari Lukmimto untuk Joko Widodo.
Berapa besar dugaan suap dari Lukminto kepada Joko Widodo sehingga Joko berani melanggar hukum, UU dan menipu DPRD dan rakyat Solo serta seluruh rakyat Indonesia itu ?
Berapa besar kerugian negara akibat KKN Jokowi – Lukminto harus dibuktikan oleh polri, kejaksaan atau KPK.
KPK, Kejaksaan dan Polri harus mengusut tuntas agar hukum dapat ditegakkan dan keadilan dapat terwujud. Sikap toleran dan pembiaran terhadap perbuatan kriminal, kejahatan atau korupsi Jokowi ini, sesungguhnya sama saja dengan kita menyetujui KKN sebagai perbuatan sah dan legal.

Dikutip dari situs : http://yudisamara.org/2014/05/24/jejak-korupsi-joko-widodo-pada-penjualan-hotel-maliyawan/

No comments:

Post a Comment