Friday, 6 June 2014

Hancurnya Karakter Bupati selaku pemimpin daerah, apabila berhadapan dengan HUTANG !



Jikalau gaji seorang pejabat negara saja, bisa mencapai Rp. 20 juta perbulan. Maka dalam setahun sebesar Rp. 240.000.000,- (Dua ratus empat puluh juta rupiah). Sementara masa jabatan seorang pejabat negara tersebut berkisar 5 tahun ( 1 periode ). Maka total income, pejabat negara tersebut selama 5 tahun adalah Rp. 240.000.000,- x 5 Tahun = Rp. 1.200.000.000,- ( Satu Milyar Dua Ratus Juta Rupiah )/5 tahun. Pejabat negara tersebut selama 5 tahun di berikan fasilitas rumah dinas dan transportasi. Otomatis biaya kebutuhan hidup sehari-hari seperti makan, minum, listrik, bahkan pulsa sekalipun ditanggung oleh negara, begitupun biaya transportasi setiap bulannya dibebankan kepada anggaran belanja Negara/Daerah. Ya, paling untuk biaya pengeluaran untuk membayar cicilan bulanan kredit barang mewah seperti mobil dan pesawat jikalau ada. Kalau pun tidak ada otomatis total income selama setahun sebesar Rp. 240 juta tersebut bulat sepenuhnya dimiliki oleh satu orang pejabat negara. Pertanyaannya sekarang apakah itu cukup buat mereka ?
Cukup ataupun tidak itu relatif, dan tergantung tipikal pejabat negara. Ada 2 tipikal pejabat negara yang selama ini kita kenal, pejabat negara yang dimaksud disini lebih kecil ruangnya dan sempit ruang lingkupnya seperti contoh, jabatan kepala daerah kabupaten, Bupati.
1. Tipikal bupati yang merasa puas dengan mengendarai sepeda dan bertipe pekerja keras dan hobi olahraga, makanya postur tubuhnya tak neko-neko dan tidak begitu menonjol kedepan bahkan terlihat langsing dan pas-pasan postur tubuhnya.
2. Tipikal Bupati yang tidak hobi mengendarai sepeda ontel bahkan mengatakan " teknologi sudah canggih-canggih, kenapa harus make kendaraan manual seperti sepeda ", kendaraan mobilkan lebih keren dan lebih prestise ketimbang sepeda?

Nah, tipikal pejabat bupati yang masuk kategori nomor 1 ini sama halnya dengan prinsip hidup si omar bakrie, seorang guru yang dianalogikan oleh iwan fals dalam tembangnya. Sederhana, dan rela mengabdi kepada negara sekalipun hidupnya pas-pasan.
Bedahalnya dengan, tipikal pejabat bupati yang dikategorikan masuk peringkat no. 2, tipikal bupati seperti ini biasanya banyak terbelit hutang, banyak mengeluarkan modal sebelum dia menjabat. Kalau cuma mengharapkan gaji pokok bulanan, tahunan saja tentu pastilah tak akan cukup untuk menutupi hutangnya selama masa periodenya menjabat. Kalau selama 5 tahun saja, total gaji yang dimilikinya hanya sebanyak 1,2 Milyar apakah mampu untuk menebus lunas semua hutang-hutangnya yang lebih besar dari pada incomenya tersebut ? iya, ya kalau hutangnya tersebut cuma dalam hitungan Milyaran saja, bagaimana kalau Triliyunan ? apakah masih bisa hidup dan bekerja dalam bingkai idealismenya seorang pejabat tersebut ? Atau malah melabrak ketentuan-ketentuan baku dalam sistem pemerintahan untuk memenuhi pundi-pundi kekayaan semata ? Hanya Alloh dan Seorang pejabat itu sendiri yang pasti mengetahui ! Budaya Korupsi, Suap, Sogok dan bahkan Gratifikasi atau pencucian uang itulah yang sudah meracuni otak dan keimanan mereka. Tak perduli memiliki perawakan yang berjenggot dan tak perduli memakai celana gantung sekalipun, kalau itu berhadapan dengan hutang dan uang apakah masih mau kita katakan pejabat tersebut memiliki keimanan ?
Tingkat level kesadaran hukum dan budaya jujur, beberapa pejabat bupati sebagian mereka sudah di batas ambang kehancuran dan degradasi, tak ada lagi idealisme yang mengakar di hati mereka untuk tetap berlaku bersih dan tidak Corrupt. Kalau bekerja dengan jujur dan bersih mana mungkin para pejabat tersebut bisa memenuhi semua kebutuhan lux mereka. Maka tersasarlah pos-pos keuangan lewat anggaran daerah berupa proyek-proyek dan dana bantuan hibah adalah black hole bagi pejabat bupati tersebut untuk mengelabui publik dan masyarakatnya. Tak haram pula, makanya banyak para pejabat negara tersebut sudah mendekam dan merasakan dinginnya terali besi (hotel Prodeo). Budaya corrupt ini, sungguh tak ada kaitannya dengan keimanan seseorang, apalagi mengkorelasikan dengan dalamnya ilmu agama seseorang. Karena takaran kejujuran dan tipikor itu adalah budaya dan karakter seseorang. Iman hanya berkorelasi kepada tujuan vertikal dan tanggungjawabnya kepada Tuhan. Sementara urusan corruption lebih kepada kelicikan dan kesempatan membaca situasi. Lebih kepada orientasi keduniawian (Horizontal). Benar apa yang dikatakan oleh bang napi, kejahatan dikarenakan ada kesempatan maka waspadalah ! Alangkah hinanya pejabat bupati yang berkedok atas nilai-nilai keagamaan hanya sekedar untuk menipu Tuhan dan Masyarakatnya sendiri, semua mereka lakukan demi uang untuk membayar hutang. Ironis bukan ?

No comments:

Post a Comment